Penyakit, dalam bahasa Arab disebut dengan al-maraḍ. Secara umum, maknanya adalah kondisi yang keluar dari tabiat alami.
Jika penyakit didefinisikan sebagai kondisi yang keluar dari tabiat alami, apa tabiat alami itu? Maka kita perlu kembali melihat apa atau siapa yang sedang tertimpa penyakit.
Mari kita ambil contoh organ tubuh manusia. Jari manusia dikatakan tertimpa penyakit ketika ia tidak pada kondisi biasanya. Misalnya, jari-jari biasanya bisa digerakkan semuanya. Tapi karena terpukul dan bengkak, salah satu jari tidak bisa menekuk dan bergerak dengan leluasa. Nah, kita bisa menyebutnya jari yang sakit. Inilah contoh dari dimensi makna pertama dari kata al-maraḍ.
Adapun dimensi yang kedua, yang dimaksudkan adalah makna majazī (metaforis). Sehingga jika kita mengatakan ada sesuatu yang sakit, maka perlu dilihat tabiat alaminya. Katakanlah kita menggunakan istilah manusia yang sedang ditimpa penyakit. Kita perlu melihat, apa tabiat alaminya? Oh ternyata tabiat alami manusia adalah beribadah. Wa mā khalaqtu al-jinn wa al-ins illā liya‘budūn. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaku.”
Lalu bagaimana dengan hati yang sedang sakit? Tentu saja hati yang tidak sesuai dengan arahan tabiat alami manusia untuk beribadah kepada Allah. Artinya, hati yang dipenuhi dengan iman kepada Allah. Keimanan ini nantinya akan mengejawantah menjadi ‘amal sālih (perbuatan baik), baik itu secara vertikal maupun horizontal. Ya ritual, ya sosial. Harus keduanya, bukan memilih salah satunya.
Makanya, Nabi sering menyabdakan kombinasi antara keduanya. Banyak hadis yang menyebutkan keimanan, yang dipadukan dengan berbuat baik kepada saudaranya. Begitu pula dengan memuliakan tamu dan tetangga. Begitupun firman Allah dalam al-Qur’an yang sering menggandengkan keduanya seperti perintah salat yang bersifat vertikal, dan zakat yang lebih horizontal. Bahkan, Allah juga sering mengkombinasikan larangan berbuat syirik dan berbakti kepada kedua orang tua.
Itulah tabiat alami dari hati. Ketika tidak berfungsi sebagaimana mestinya, ia telah terjangkit penyakit. Sehingga ia disebut sebagai al-qalb al-marīd, kebalikan dari hati yang bersih, al-qalb al-salīm. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari penyakit kufur dan nifaq. Imam al-Rāzī menambahkan, ia adalah hati yang kosong dari keyakinan rusak dan kecenderungan terhadap syahwat dunia beserta kenikmatannya. Tanda dari hati yang bersih itu adalah lahirnya amal-amal saleh, sebab keselamatan hati akan tampak pada anggota tubuh.
Jika kita kembalikan pada istilah al-Qur‘an, kata al-maraḍ memiliki dua dimensi makna. Pertama, ia diartikan sebagai penyakit fisik. Misalnya dalam QS. Al-Taubah (9): 91. Kedua, ia juga berarti akhlak yang buruk semisal bodoh, penakut, pelit, munafik, kafir, dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Seperti yang terekam dalam QS. Al-Baqarah (2): 10 dan QS. Al-Nūr (24): 50.
Keburukan akhlak seperti kemunafikan dan kekafiran ini diserupakan dengan penyakit karena beberapa sebab. Pertama, menghalangi seseorang untuk meraih keutamaan-keutamaan sebagaimana penyakit fisik menghalangi tubuh dari kemampuan beraktivitas secara sempurna. Kedua, akhlak-akhlak yang buruk itu dapat menghalangi seseorang untuk memperoleh kehidupan akhirat yang sebenarnya. Ketiga, hal-hal ini menyebabkan seseorang condong pada keyakinan-keyakinan yang rusak, sebagaimana tubuh yang sakit condong pada hal-hal yang membahayakan.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar