Ketika melakukan sebuah dosa, kita mungkin sering menenangkan diri dengan kalimat, “ah, cuma dosa kecil.”
Padahal, Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ justru memberi peringatan bahwa dosa kecil pun bisa membengkak dan menjadi besar, bahkan melebihi dosa besar, jika disertai sebab-sebab tertentu.
Sebab pertama adalah iṣrār (terus-menerus) melakukan dosa itu. Sekali dua kali mungkin terlihat ringan, tapi ketika seseorang bertekad untuk tidak berhenti, dosa kecil itu bisa berubah menjadi besar. Allah memuji orang-orang beriman dengan firman-Nya: wa lam yuṣirrū ‘alā mā fa‘alū—“mereka tidak bersikeras atas dosa yang telah mereka perbuat.” Artinya, mereka bukan hanya jatuh dalam kesalahan, tapi memilih untuk betah dalam kesalahannya itu.
Sebab kedua adalah muwāẓabah, sudah terlanjur menjadi kebiasaan. Kata Imam al-Ghazālī, dosa yang diulang-ulang itu seperti tetesan air yang jatuh di atas batu. Sekali dua kali tidak terasa, tapi lama-lama bisa melubangi permukaan batu yang keras. Perumpamaan ini membuat kita sadar bahwa yang membuat hati menjadi “berlubang” bukanlah besar-kecilnya satu kali perbuatan dosa, melainkan konsistensi dalam dosa itu.
Dua sebab ini, adalah faktor terkuat yang menjadikan sebuah dosa kecil menjadi lebih berbahaya ketimbang dosa besar. Gambarannya begini, satu dosa besar yang dilakukan lalu terputus dan tidak diikuti dengan dosa besar lain, bisa jadi lebih besar harapannya untuk diampuni dibanding dosa kecil yang terus dilakukan seorang hamba sepanjang hidupnya. Contohnya seperti tetesan air yang jatuh terus-menerus di atas batu hingga melubanginya tadi. Padahal, jumlah air sebanyak itu jika dituangkan sekaligus tidak akan memberi pengaruh.
Ada juga sebab ketiga, menganggap remeh dan menyepelekan dosa. Dosa yang dianggap kecil lalu dipermainkan justru menjadi besar. Seperti kata Ibn Mas‘ūd: inna al-mu’mina yarā dzunūbahu ka annahu jālis taḥta jabalin yakhāfu an yaq‘a ‘alayh—“orang beriman melihat dosanya seperti gunung besar yang bisa menimpa dirinya.” Sebaliknya, orang munafik melihat dosanya seperti lalat di hidung yang tinggal diusir dengan tangan. Rasa remeh inilah yang membuat dosa kecil semakin berbahaya.
Masalahnya, dosa kecil itu jarang berdiri sendiri. Biasanya, ia menjadi opening atau pembuka jalan bagi dosa yang lebih besar. Zina, misalnya, biasanya tidak terjadi tiba-tiba. Ada pandangan, sentuhan, atau percakapan yang membuka pintu zina itu sendiri—semua bermula dari dosa-dosa kecil yang menumpuk. Begitu pula dengan pembunuhan. Ia biasanya diawali pertengkaran, makian, atau dendam yang dipelihara.
Maka, jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil. Karena sejatinya, meremehkan dosa kecil itu seperti meremehkan Allah yang sedang didurhakai. Kata Bīlāl bin Sa‘d, lā tanẓur al-khaṭī’ah, walākin unẓur man ‘aṣayta—“jangan engkau lihat kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.”
Dari sini kita bisa melihat, yang membuat dosa berbahaya bukan hanya perbuatannya, tapi juga sikap batin yang mengiringinya. Orang yang melakukan dosa besar lalu segera menyesal dan bertaubat, mungkin lebih dekat kepada ampunan daripada orang yang setiap hari mengulang dosa kecil sambil tertawa dan meremehkannya.
Kalau begitu, apakah dosa kecil itu masih bisa dianggap ringan? Atau sebenarnya, dosa kecil hanyalah pintu kecil menuju jurang yang lebih dalam? Pertanyaan ini sepertinya tidak bisa dijawab sekali duduk. Ia harus dibawa pulang, direnungkan, dan dijadikan cermin setiap kali kita berhadapan dengan godaan yang tampaknya “sepele.”
Lalu, bagaimana pula jika kita menyombongkan diri dan merasa bangga karena telah melakukan banyak dosa? Wal iyyażu biLlāh
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar