Sabar adalah kata manis yang menyimpan getir di baliknya. Kita sering mengucapkannya, entah kepada teman yang sedang curhat, atau kepada diri sendiri saat sedang terhimpit masalah. Namun, ada kalanya justru kata itu membuat hati semakin berat, meski pada awalnya kita pakai untuk menenangkan diri.
Tak jarang, sabar hanya kita hadirkan sebagai opsi terakhir ketika permasalahan sudah “mentok.” Tidak ketemu lagi jalan keluarnya. Seolah-olah kita hanya ingin mengucapkan “mau bagaimana lagi?” dengan nuansa yang lebih positif. Bukankah ini hanya bentuk pelarian saja? Tidakkah ini lebih mirip dengan menyerah atau putus asa?
Padahal, sabar seharusnya tidak seperti ini. Imam al-Bukārī meriwayatkan:
Sesungguhnya beberapa orang dari kaum Anshar meminta kepada Rasulullah saw. Tidak ada seorang pun dari mereka yang meminta kecuali beliau memberinya, hingga habis apa yang ada pada beliau. Ketika semua sudah habis yang beliau berikan dengan tangannya sendiri, beliau berkata kepada mereka: “Apa saja kebaikan yang ada padaku, tidak akan aku simpan dari kalian. Barangsiapa yang berusaha menjaga diri (dari meminta), Allah akan menjaganya. Barangsiapa yang berusaha bersabar, Allah akan memberinya kesabaran. Barangsiapa yang berusaha merasa cukup, Allah akan mencukupinya. Dan kalian tidak akan diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada sabar.”
Kita telah menerima begitu banyak pemberian di dunia ini. Baik itu harta, kesehatan, teman, hingga jabatan. Namun ternyata sabar adalah pemberian terbaik yang melebihi itu semua, demikianlah sabda Nabi kita.
Ibn Ḥajar dalam Fatḥ al-Bārī menjelaskan bahwa sabar bukan sekadar menahan diri dan menerima keadaan. Sabar adalah menahan jiwa dari hal yang tidak disukai, menahan lidah dari keluh kesah, menahan tubuh dari tindakan yang dilarang, dan bertahan dalam menghadapi kesulitan sambil menanti pertolongan. Dalam istilah lain, sabar adalah kemampuan untuk tetap teguh pada yang benar, bahkan ketika semua keadaan mendorong kita untuk menyerah.
Menariknya, sabar itu punya banyak wajah. Ketika kita menahan diri dari maksiat, namanya ‘iffah (menjaga kehormatan). Ketika menahan rasa sakit karena musibah, itu disebut sabar. Ketika berhadapan dengan musuh, ia berubah namanya menjadi keberanian. Ketika menahan ucapan, ia disebut dengan kitmān. Sehingga, sabar adalah sebuah energi yang berubah-ubah sesuai dengan tempatnya.
Sayyidina ‘Umar bin al-Khaṭṭāb pernah berkata:
“Kami mendapati kehidupan terbaik kami justru dengan bersabar.”
Kehidupan terbaik didapatkan dengan kesabaran. Begitulah ucap sosok pemimpin yang meluaskan wilayah Islam hingga ke negara-negara Romawi. Boleh jadi, pernyataan ini kontradiktif dengan cara berpikir kita hari ini. Kita mengira bahwa versi kehidupan terbaik itu identik dengan tidak ada masalah dan harta melimpah. Padahal, kualitas kehidupan bisa dinilai dari level kesabaran kita, melalui berbagai bentuknya.
Kalau dipikir-pikir, memang benar ungkapan ini. Segala jenis nikmat yang kita rasakan hari ini bisa lenyap begitu saja. Tanpa kesabaran, “bencana” hidup seperti ini akan menjerumuskan pada penderitaan yang lebih parah. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Akan tetapi, sabar itu bukan hadiah yang tiba-tiba jatuh dari langit. Sabar adalah skill yang bisa dilatih dan dikembangkan. Latihan itu juga beragam jenisnya. Berpuasa misalnya, melatih kita menahan lapar dan dahaga, mengelola amarah, sampai mengendalikan syahwat duniawi. Atau dengan tidak suka meminta-minta, membuat kita perlahan merasa cukup dengan apa yang sudah ada.
Dimana-mana yang namanya latihan itu ya sebelum bertanding. Sehingga ketika menghadapi berbagai momentum “pertandingan” dalam hidup, kita sudah siap untuk bersabar. Inilah kesabaran yang tepat. Sabar dijadikan sebagai pondasi, bukan alasan terakhir untuk menunjukkan kelemahan diri.
Lebih dari itu, ganjaran sabar itu bi ghayri ḥisāb—tanpa hitungan. Maksudnya, diluar jangkauan manusia untuk bisa menghitungnya. Jika ganjaran amal lain umumnya bisa ditakar: salat dengan jumlah rakaatnya, sedekah dengan jumlah hartanya, dan sebagainya. Maka, ganjaran sabar dibiarkan terbuka tanpa batas. Seakan-akan Allah Swt berbicara kepada hambanya, “biarkan Aku sendiri yang menilai dan menghadiahi orang-orang yang sabar.”
Barangkali, inilah mengapa sabar disebut sebagai pemberian terbaik. Sabar akan tetap bersama kita, bahkan ketika segala hal yang kita miliki telah pergi dan meninggalkan kita.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar