Membandingkan. Satu aktivitas yang sepertinya sudah sangat dalam tertancap di alam bawah sadar pikiran kita. Bak excalibur, tidak sembarang orang bisa menarik dan membebaskannya. Bahkan, bantuan-bantuan orang lain tak jarang juga tidak ada artinya. Hanya orang-orang terpilih lah yang bisa terbebas dari aktivitas itu. Kita? Sepertinya bukan termasuk orang pilihan itu.
Buktinya, kita tidak berhenti membandingkan nasib hidup kita dengan orang lain. Kita terus mengukur kualitas diri kita dengan standar orang lain. Entah itu terkait pekerjaan, kepemilikan, keturunan, dan lainnya. Setiap kali berusaha mengabaikannya, selalu ada saja trigger yang membuatnya hadir lagi.
Jika memang harus membandingkan, maka kita lakukan saja. Tapi bagaimana agar itu tidak melelahkan kondisi mental kita? Nah, Nabi Saw sudah memberikan arahan yang klir tentang hal ini. Beliau bersabda:
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
“Apabila salah seorang di antara kalian melihat orang lain yang diberi kelebihan darinya dalam hal harta dan rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya.”(HR. Bukhārī)
Sabda Nabi ini tidak menafikan kebiasaan membandingkan, hanya mengubah bagaimana seharusnya membandingkan itu dilakukan. Daripada selalu melihat ke atas lalu merasa kurang, lebih baik melihat ke bawah, agar sadar bahwa nikmat Allah Swt selalu ada di genggaman.
Ibn Ḥajar dalam Fatḥ al-Bārī menjelaskan, yang dimaksud dalam hadis ini adalah urusan dunia dalam bentuk harta, rupa, keturunan, kedudukan, dan segala jenis zīnah al-ḥayāh al-dunyā (perhiasan kehidupan dunia). Secara umum, ini mencakup segala hal yang membuat seseorang tampak “lebih unggul” secara lahiriyah. Bahkan, dalam riwayat Muslim terdapat tambahan redaksi:
فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian.”
Sehingga, memandang ke bawah diperlukan untuk menjaga hati dari penyakit meremehkan karunia yang sudah ada.
Menurut Ibn Baṭṭāl, dalam hal agama seseorang harus melihat ke atas untuk mencari teladan pada mereka yang lebih saleh agar terus merasa butuh untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, dalam hal dunia, pandangan ditujukan ke bawah agar ia selalu menemukan alasan untuk bersyukur.
Ibn Ḥajar mengutip sebuah riwayat:
أقلوا الدخول على الأغنياء فإنه أحرى أن لا تزدروا نعمة الله
“Kurang-kurangilah menemui orang-orang kaya, karena itu lebih menjaga kalian dari meremehkan nikmat Allah.”
Lingkungan, dalam banyak kasus, adalah pemicu salah satu penyakit hati yang berbahaya, yakni hasad (iri dengki). Jika sudah terlanjur mengidap penyakit itu, maka obatnya juga harus mau melihat ke bawah. Dengan begitu, rasa syukur lebih mudah tumbuh, dan keluhannya berkurang.
Dalam riwayat lain dari ʿAmr ibn Syuʿaib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Saw bersabda:
خصلتان من كانتا فيه كتبه الله شاكرا صابرا: من نظر في دنياه إلى من هو دونه فحمد الله على ما فضله به عليه، ومن نظر في دينه إلى من هو فوقه فاقتدى به
“Ada dua sifat, siapa yang memilikinya Allah menuliskannya sebagai orang yang bersyukur dan sabar: orang yang memandang dalam urusan dunianya kepada yang lebih rendah darinya, lalu memuji Allah atas kelebihan yang diberikan kepadanya; dan orang yang memandang dalam urusan agamanya kepada yang lebih tinggi darinya, lalu meneladaninya.”
Logikanya jelas. Bila seseorang hanya menatap ke atas dalam urusan dunia, ia akan merasa kurang dan kurang, sehingga hidupnya akan dipenuhi penyesalan. Bila ia menoleh ke bawah, ia akan mudah bersyukur, sadar bahwa ada banyak orang yang hidupnya lebih sempit dari kita.
Karena itulah, jika memang harus membandingkan, bandingkan dengan benar. Sekali kita salah membandingkan, saat itu juga rasa syukur mulai menjauh. Sehingga yang tersisa hanyalah benih-benih hasad. Ketika benih itu terus dipupuk, ia akan menjadi sumber penderitaan hidup yang berkepanjangan.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar