Ketika Allah berfirman kepada para malaikat-Nya bahwa Allah hendak menjadikan khalifah di muka bumi, para malaikat “protes.” Mereka bertanya, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dialog ini terekam dalam QS. Al-Baqarah (2): 30, yang mengawali rangkaian ayat tentang kisah Nabi Adam As. Kata khalīfah, menurut al-Qur’an versi Kemenag, memiliki empat makna dalam al-Qur’an. Ia bisa bermakna pengganti, pemimpin, penguasa, atau pengelola alam semesta. Kita, manusia, adalah khalifah.
Masalahnya, kita tidak dipercaya oleh para malaikat —saat itu— untuk menjadi khalīfah di muka bumi ini. Mereka bahkan “menuduh” kita sebagai orang yang suka merusak dan menumpahkan darah. “Tuduhan” yang tidak main-main. Seharusnya, kita perlu tersinggung.
Seiring berjalannya waktu, apa yang dituduhkan oleh para malaikat itu ternyata menjadi kenyataan. Agaknya manusia memang punya hobi merusak dan menumpahkan darah. Pengrusakan yang dilakukan manusia pun berlevel. Ada yang merusak diri sendiri, orang lain, masyarakat, lingkungan, sampai masa depan —yang bahkan belum kejadian.
Aktivitas pengrusakan yang kita lakukan pun kian lama justru berbalik kepada diri kita sendiri. Kita semakin merasakan dampaknya. Paceklik, bencana alam, krisis moral dan sosial, serta berbagai hal lainnya yang tidak bisa benar-benar dilepaskan dari polah tingkah kita.
Dalam bahasa Arab, kerusakan biasa disebut dengan al-fasād. Para ahli bahasa memaknainya dengan “keluarnya sesuatu dari keadaan normalnya, baik dalam intensitas yang sedikit maupun banyak.” Lawan katanya adalah al-shalāh, yang berarti kebaikan atau kemanfaatan. Kata al-fasād bisa berlaku untuk kerusakan yang terjadi pada jiwa, badan, dan benda-benda lainnya yang keluar dari keadaan normalnya.
Term al-fasād yang berasal dari kata kerja fasada, ternyata diulang sebanyak 50 kali dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya. Uniknya, al-fasād selalu digandengkan dengan sosok “pelaku.” Entah itu disebut dengan manusia, kaum, kelompok, para penentang, hingga Ya’jūj dan Ma’jūj. Semuanya adalah golongan manusia. Artinya, tidak ada kerusakan tanpa adanya campur tangan manusia disana.
Dari 50 kali penyebutan kerusakan dalam al-Qur’an, 30 diantaranya disebutkan dalam surah-surah Makkiyyah. Barangkali ini menjadi tanda bahwa rusaknya iman atau akidah merupakan sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Selain itu, dari 50 derivasi kata fasada itu, 39 diantaranya disebutkan dalam bentuk jamak, atau dihubungkan dengan pelaku jamak. Mungkin ini mengindikasikan adanya peran kolektif antar manusia, untuk terus melanggengkan kerusakan itu. Jangan-jangan, kita memang sudah terlanjur terbiasa merusak? Sampai-sampai kita sudah tidak merasa sedang merusak lagi? Jika memang seperti itu, sudah sepantasnya kita mempertanyakan status ke-khalifah-an kita masing-masing.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar