Rezeki, sebagaimana disebutkan dalam KBBI, adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan). Ia bisa berbentuk makanan sehari-hari maupun nafkah. Acapkali, rezeki juga dimaknai sebagai penghidupan, pendapatan, keuntungan, serta kesempatan mendapatkan makan.
Rezeki adalah kata serapan dari bahasa Arab al-rizq yang berarti segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. Dalam al-Qur’an, kata al-rizq terkadang digunakan untuk mengartikan pemberian, baik duniawi maupun ukhrawi. Selain itu, al-rizq juga dapat dimaknai bagian, serta sesuatu yang masuk ke dalam mulut untuk dimakan.
Menurut Ibn ‘Āsyūr, rezeki adalah apa yang diperoleh manusia dari keberadaan dunia ini untuk menutupi kebutuhan dan mendatangkan kemaslahatan baginya. Sehingga rezeki mencakup semua hal yang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bisa berupa makanan, hewan ternak, buah-buahan, pakaian, dan segala yang dapat diperoleh melalui harta. Menurut beliau, makna paling masyhur dari rezeki —dari keseluruhan penggunaan bahasa Arab dan ayat-ayat al-Qur’an— adalah segala sesuatu yang diperoleh manusia.
Kata al-rizq disebut dalam al-Qur’an sebanyak 124 kali. Tujuh puluh tiga diantaranya berada dalam surah-surah Makkiyyah, sedangkan sisanya di surah Madaniyyah. Menariknya, dalam semua pengulangan itu kata rezeki selalu muncul dalam bentuk tunggal, tidak pernah disebut dalam bentuk jamak arzāq. Meskipun terkadang dinisbahkan kepada jamak dalam beberapa ayat, maknanya tetap kembali pada rezeki khusus yang ditetapkan bagi masing-masing manusia. Misalnya kalimat razaqnāhum dalam QS. Al-Baqarah (2): 3.
Boleh jadi penggunaan bentuk tunggal ini adalah sebuah isyarat bahwa rezeki bersifat khusus, pribadi, dan unik bagi setiap orang. Tidak ada yang bisa mengambil atau mengganti bagian orang lain, karena setiap manusia telah diberikan “jatah” rezekinya oleh Allah Swt. Ibn ‘Āsyūr menyatakan bahwa sesuatu yang menjadi rezeki seseorang adalah hak khusus yang Allah berikan kepadanya menurut hukum syariat, sesuai sebab-sebab dan sarana yang dapat ditempuh oleh manusia guna memperoleh kepemilikan harta dan rezeki.
Sebab-sebab dan sarana untuk mendapatkan rezeki itu banyak sekali rupanya. Ia bisa berbentuk usaha yang memanfaatkan bakat, tenaga, jasa, pengetahuan, atau keterampilan. Bisa juga dengan berdagang, mendapat hadiah, warisan, dan sebagainya. Intinya, semua sebab dan sarana ini perlu digunakan manusia untuk mendapatkan “bagian” rezekinya.
Meskipun demikian, pembagian rezeki ini murni hak Allah yang tidak dapat diinterupsi. Manusia hanya diberikan kesempatan untuk mengusahakannya saja. Tidak ada hubungan pasti antara kerasnya usaha dalam menempuh sebab-sebab dan sarana ini dengan lancar atau seretnya rezeki. Bisa jadi, orang yang tampak bekerja keras lebih seret rezekinya dibanding orang yang lebih malas. Memang ada diantara manusia yang dilebihkan rezekinya diantara manusia lainnya. Sebagaimana dalam firman Allah:
وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ فِى الرِّزْقِۚ فَمَا الَّذِيْنَ فُضِّلُوْا بِرَاۤدِّيْ رِزْقِهِمْ عَلٰى مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيْهِ سَوَاۤءٌۗ اَفَبِنِعْمَةِ اللّٰهِ يَجْحَدُوْنَ
“Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki. Akan tetapi, orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa terhadap nikmat Allah mereka ingkar?” [QS. Al-Nahl (16): 71]
Bagaimanapun, rezeki tetaplah akan menjadi misteri. Kita tidak tahu pasti seberapa banyak rezeki yang akan kita nikmati di dunia ini. Namun, kita dituntut untuk meyakini bahwa rezeki adalah hak prerogatif Allah. Kita hanya perlu mengharap kemurahan-Nya, dengan berdoa dan berusaha sebaik mungkin.
Syaikh Nawawī al-Bantānī, dalam Qathr al-Ghayts, menyebutkan bahwa rezeki itu ada dua jenisnya. Pertama, rezeki lahir, yaitu makanan dan santapan yang menjadi kebutuhan badan. Kedua, rezeki batin, yaitu pengetahuan dan penyaksian hati yang menjadi santapan bagi jiwa. Artinya, ada rezeki yang bermanfaat bagi badan, dan ada pula yang bermanfaat bagi jiwa. Beliau juga menuturkan bahwa diantara segala jenis rezeki, yang paling agung adalah bentuk taufik (pertolongan) Allah untuk melakukan ketaatan.
Pada akhirnya, Allah akan menyampaikan seluruh rezeki pada setiap makhluk-Nya. Dalam catatan Syaikh Nawawī, disebutkan bahwa diantara sebab lapangnya rezeki adalah memperbanyak salat. Beliau berdalil dengan QS. Tāhā (20): 132,
“Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah dengan sungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Kesudahan (yang baik di dunia dan akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” Selain dengan memperbanyak salat, sebab lapangnya rezeki juga dapat diraih dengan memperbanyak salawat kepada Nabi, dan memperbanyak istighfar. Setidaknya, dengan melakukan tiga hal ini, kita sudah mengambil bagian rezeki yang paling agung —taufik untuk melakukan ketaatan.

Tinggalkan komentar