Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Tundukkan Hawa Nafsumu Pada Akalmu

Terdapat sebuah pitutur yang terekam dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dikatakan bahwa

ﻃُﻮﺑﻰ ﻟِﻤَﻦْ ﻛﺎﻥ ﻋﻘﻠُﻪ ﺃﻣﻴﺮًﺍ ﻭﻫﻮﺍﻩ ﺃﺳﻴﺮًﺍ ، ﻭﻭﻳْﻞٌ ﻟﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻫﻮﺍﻩ ﺃﻣﻴﺮًﺍ ﻭﻋﻘﻠُﻪ ﺃﺳﻴﺮًﺍ

“Beruntunglah bagi siapa saja yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin atas hawa nafsunya, dan celakalah bagi yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pemimpin atas akalnya”

Akal adalah salah satu karunia terbesar yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita, umat manusia. Inilah pembeda antara kita dengan hewan. Maka tak heran, sering terdengar istilah al-insan hayawan natiq, manusia adalah hewan yang memiliki akal.

Jika hanya hawa nafsu dan syahwat, hewan pun memilikinya. Naluri-naluri untuk memenuhi kepuasan serta keinginan, terutama urusan perut dan kemaluan, kita pun tak ada bedanya. Untungnya, kita diberikan akal untuk menentukan “cara” memenuhi keinginan itu.

Jika kucing lapar, ia bisa serta merta mengambil makanan siapapun. Ia tidak peduli makanan itu milik siapa, dari mana didapatkan, dan seterusnya. Yang penting, dia kenyang. Begitu pula dengan urusan kemaluan. Entah kucing lain itu pasangan siapa, anaknya siapa, dia tidak peduli. Yang penting seluruh hasratnya tersalurkan.

Akal lah yang mengantarkan kita pada kehidupan yang bermartabat. Maka beruntung betul mereka yang menjadikan akalnya sebagai pemandu, yang menunjukkan cara hidup bermartabat itu. Jika tidak begitu, apa bedanya kita dengan hewan?

Lalu, kriteria akal seperti apa yang layak dijadikan sebagai pemimpin? Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa akal itu haruslah akal yang lurus, yang bisa menundukkan hawa nafsunya agar menjauhi larangan-larangan syariat. Artinya, akal ini adalah akal yang mengikuti fitrah manusia, yang tidak tercemar oleh hawa nafsunya.

Akal ini adalah akal yang tunduk pada kriteria-kriteria syariat. Mengikuti petunjuk Allah, melalui firman-firman-Nya, dan mendapatkan hidayah dari sunnah Nabi Saw. Inilah akal yang layak dijadikan pimpinan untuk mengontrol syahwat dan hawa nafsu kita. Akal yang bisa menimbang kebaikan dan keburukan.

Jika akal itu tidak tunduk pada syariat, maka ia menjadi akal-akalan. Bukan akal yang sebenarnya. Inilah akal yang telah diperbudak oleh hawa nafsu. Sehingga ia akan diperalat, untuk mencari pembenaran, atas seluruh perintah hawa nafsunya.

Dengan akal yang bersih, kita bisa mentafakkuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. Dengannya pula, kita bisa mengenal Allah Swt.

Oleh sebab itulah, kita perlu merawat akal kita. Agar ia layak menjadi pemimpin, yang bisa mengangkat martabat dan kemuliaan hidup kita sebagai khalifah di muka bumi. Sekali lagi, beruntunglah bagi siapa saja yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin, karena ia akan memimpin dirinya untuk menapaki kebahagiaan di dunia, dan di akhirat. Maka, tundukkan hawa nafsumu pada akalmu.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts