Betapa banyak orang yang berhenti berusaha menjadi baik, hanya karena dirinya bergelimang dosa. Ia mungkin berprasangka karena keburukannya, Allah sudah tidak mau lagi mendengarkannya. Ia merasa tak layak berdoa kepada Allah, tak pantas untuk mendekati-Nya.
Padahal seberapapun dosa kita, Allah tetaplah dzat yang Maha Besar. Ialah satu-satunya dzat yang berjanji —dan janjinya pasti ditepati— akan mengampuni seluruh dosa-dosa hamba-Nya, inna Allāh yaghfiru al-dzunūba jamī‘an.
Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī dalam al-Ḥikam-nya,
لا يَعْظُمِ الذَنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ باللهِ تَعالى فإنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اسْتَصْغَرَ في جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبَهُ
Janganlah (karena) dosamu tampak begitu besar di matamu hingga membuatmu kehilangan husnuzan kepada Allah Ta‘ālā. Sebab siapa yang mengenal Tuhannya, ia akan tahu bahwa di sisi kemurahan-Nya, dosa itu kecil.
Bukan berarti kita menyepelekan dosa. Tapi, jangan sampai kesadaran akan dosa berubah menjadi penghalang untuk kembali. Dosa yang disadari seharusnya melahirkan penyesalan, bukan keputusasaan.
Imam al-Būṣīrī pun menulis dalam al-Burdah, satu bait syair yang sangat indah,
يَا نَفْسُ لَا تَقْنَطِيْ مِنْ زَلَّةٍ عَظُمَتْ … إِنَّ الْكَبَآئِرَ فِي الْغُفْرَانِ كَاللَّمَمِ
Wahai jiwa janganlah putus asa karena dosa besar yang telah dilakukan. Sesungguhnya dosa-dosa besar dalam luasnya ampunan Allah, kecil dan ringan.
Banyak ayat, hadis, dan petuah ulama, yang semuanya sepakat bahwa rahmat Allah selalu lebih luas dari apapun. Ampunan Allah, senantiasa mendahului murka-Nya. Maka, jangan putus asa akan ampunan Allah, sebesar apapun kesalahan dan dosa yang pernah kita perbuat.
Tidak ada bedanya. Sekali lagi, tidak ada bedanya, antara dosa kecil dan dosa besar bagi-Nya. Allah berhak mengampuni siapapun yang mau memohon ampunan kepada-Nya. Sehingga kita perlu terus berprasangka baik terhadap-Nya.
Sayangnya, banyak dari kita yang kehilangan husnuzan kepada Allah, bukan karena ditolak oleh Allah. Tapi karena kita sendiri yang tidak mau mendekat kepada-Nya, entah dengan alasan merasa tidak pantas dan sebagainya. Kita sendiri lah yang enggan mengetuk pintu rahmat-Nya. Kita mengira pintu itu sudah tertutup oleh dosa-dosa, padahal yang tertutup itu hati kita sendiri. Akhirnya, rasa bersalah kita pun begitu tebal sampai menutupi rasa harap kepada-Nya. Padahal, Allah Swt telah berfirman, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya.” (QS. al-Zumar: 53)
Mungkin kita lupa bahwa kita hidup di satu titik butiran debu bernama bumi, yang berputar di antara miliaran galaksi yang semuanya adalah ciptaan-Nya. Lalu bagaimana mungkin dosa kita—yang cuma secuil dalam semesta ini—bisa lebih besar dari kasih sayang-Nya yang menciptakan segalanya?
Sekali lagi, kita bukan ingin meremehkan dosa. Tapi mari kita lihat sisi rahmat Allah Swt yang begitu luas. Agar kita punya optimisme untuk menjadi lebih baik, sesuai yang diridhai oleh Allah. Itulah kenapa kita perlu berhusnuzan kepada-Nya.
Maka, marilah kita memperbaiki prasangka kepada Allah. Segera kembali kepada-Nya, meskipun dengan langkah yang terseok-seok. Fafirrū ilā Allāh…
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar