Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Sifat-Sifat Nabi Yahya As

Allah Swt berfirman,

يايَحْيى خُذِ الكِتابَ بِقُوَّةٍ وآتَيْناهُ الحُكْمَ صَبِيًّا ۝ وحَنانًا مِن لَدُنّا وزَكاةً وكانَ تَقِيًّا ۝ وبَرًّا بِوالِدَيْهِ ولَمْ يَكُنْ جَبّارًا عَصِيًّا ۝

(Allah berfirman,) “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Kami menganugerahkan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak. (Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dia pun adalah seorang yang bertakwa. (Dia) orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan dia bukan orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam [19]: 12-14)

Melalui tiga ayat ini, Allah Swt menjelaskan delapan sifat utama Nabi Yahya As yang layak untuk kita renungkan. Selain keutamaan, kedelapannya adalah sifat-sifat yang membentuk karakter Nabi Yahya As, sehingga menjadi salah satu manusia terbaik di sisi-Nya.

Pertama, bersungguh-sungguh dalam beragama. Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Yahya As untuk “khudz al-kitāba bi quwwah,” —ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Lalu, apa maksud dari perintah ini? Kesungguhan ini bermakna keseriusan dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kitab itu.

Syaikh Ibn ‘Āsyūr menjelaskan bahwa yang dimaksud quwwah atau kekuatan di sini sifatnya maknawi: tekad dan keteguhan. Bukan sekadar membaca lalu selesai. Lebih dari itu, mengambil kitab dengan kekuatan berarti berkomitmen penuh untuk menjalankannya dan mengajak umat untuk mengikutinya.

Ini penting, karena pada masa Nabi Yahya As, umat Yahudi mulai mengalami kelemahan dalam menjalankan agamanya. Mereka butuh figur baru, yang bisa mengembalikan mereka ke ajaran yang benar.

Kedua, hikmah. Allah Swt menganugerahkan kepada Nabi Yahya As hikmah, sejak beliau masih kecil, wa ātaynāhu al-ḥukma ṣabiyyā. Ini keistimewaan yang luar biasa.

Al-ḥukm di sini dimaknai sebagai hikmah, yaitu pemahaman mendalam tentang kebenaran, atau bisa juga diartikan sebagai kenabian. Jelasnya, Allah memberikan kepada Nabi Yahya kemampuan berpikir jernih dan memahami hakikat sejak beliau masih sangat muda. Tentu saja hal ini bertentangan dengan kebiasaan manusia pada umumnya, dimana kedewasaan berpikir baru datang seiring bertambahnya usia.

Para ulama sepakat bahwa Nabi Yahya diangkat menjadi nabi jauh sebelum berusia 40 tahun. Bahkan ada yang berpendapat bahwa beliau sudah menerima kenabian di usia yang sangat muda. Mungkin karena Allah mentakdirkan hidup beliau tidak panjang, maka Allah percepat proses pemberian hikmah dan kenabian kepada beliau.

Ketiga dan keempat, kasih sayang (lembut hatinya) dan kesucian. Allah Swt juga memberikan ḥanān (rasa kasih sayang) dan zakāh (kesucian) kepada Nabi Yahya As, wa ḥanānan min ladunnā wa zakāh.

Ḥanān adalah rasa kasih sayang yang teramat dalam. Dalam ayat tersebut juga terdapat frasa “min ladunnā” (dari sisi Kami) untuk menunjukkan bahwa kelembutan hati Nabi Yahya ini bukan yang biasa-biasa saja. Jauh melampaui standar manusia pada umumnya. Beliau punya rasa kasih sayang dan empati yang tinggi terhadap sesama.

Sedangkan zakāh di sini bukan zakat harta. Ini soal kesucian jiwa dari sifat-sifat tercela. Hati yang bersih dari keinginan buruk, nafsu yang merusak, dan sikap-sikap negatif lainnya. Ada juga yang mengartikan zakāh sebagai keberkahan yang menyertai kehidupannya.

Berikutnya yang kelima adalah bertakwa, wa kāna taqiyyā. Penggunaan kata “kāna” di sini menunjukkan kemantapan. Takwa bukan sesuatu yang datang sesekali, tapi menjadi karakter tetap dalam diri Nabi Yahya As. Beliau berakhlak dengan ketakwaan, yaitu menjauhi segala yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebuah komitmen total pada aturan Allah Swt.

Hal ini pun konsisten dengan sifat pertama yang bersungguh-sungguh dalam beragama. Orang yang sungguh-sungguh beragama pasti akan tampak ketakwaannya.

Keenam, berbakti kepada orang tua. Allah Swt berfirman, wa barran bi wālidayhi. Kata al-birr bermakna penghormatan dan kesungguhan dalam menaati. Kata “barr” ini bentuk mubalaghah, menunjukkan tingkat kebaktian yang sangat tinggi. Terlebih lagi, kalimat ini di ‘athaf-kan pada ketakwaannya. Sehingga juga menunjukkan kemantapan dalam hal berbakti pada orang tuanya.

Karakter ketakwaan biasanya memang disandingkan seperti ini. Diawali dengan menunjukkan hubungan dengan Allah Swt, disusul dengan hubungan kepada makhluk-Nya —orang tua. Sehingga, aspek hablum minAllah dan hablum minannas ini tidak terpisahkan satu sama lain.

Sifat ketujuh dan kedelapan, tidak sombong dan tidak durhaka. Inilah dua sifat terakhir yang digambarkan dalam rangkaian ayat tersebut, wa lam yakun jabbāran ‘aṣiyyā.

Jabbār adalah orang yang meremehkan hak orang lain, seolah dia bisa memaksakan kehendaknya. Sedangkan ‘aṣiyy adalah orang yang sangat gemar membangkang.

Menariknya, kedua sifat ini dinafikan dengan penekanan. “Lam yakun” bukan sekadar “dia tidak”, tapi “sama sekali tidak pernah”. Penafian yang kuat. Nabi Yahya As benar-benar bersih dari sifat sombong dan durhaka, barang sedikitpun.

Delapan sifat Nabi Yahya As ini saling terkait. Kesungguhan dalam menggenggam kitab (agama) melahirkan hikmah, hikmah menghasilkan rasa kasih sayang dan kesucian jiwa, dari situ muncul ketakwaan, yang terwujud juga dalam bentuk bakti kepada orang tua, dan semuanya terjaga karena beliau tidak sombong dan tidak durhaka.

‘Alā kulli hāl, mari kita berusaha untuk meniru sifat-sifat Nabi Yahya As yang dikabarkan oleh Allah Swt melalui al-Qur’an ini. Semoga kita dan keluarga diberikan kemudahan oleh Allah Swt. Amin.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts