Kata orang-orang zaman sekarang, cinta harus dirawat. Jika tidak, maka cinta itu bisa pupus, menguap, dan hilang. Seandainya cinta kepada makhluk saja harus diperlakukan seperti itu, lantas bagaimana dengan cinta kita kepada Baginda Nabi Muhammad Saw? Bukankah isyarat ini berulang kali difirmankan Allah Swt?
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Āl ‘Imrān [3]: 31)
Atau firman-Nya yang lain,
اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzāb [33]: 6)
Begitu pula dengan sabda mulia Nabi kita Saw,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعيْنَ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai aku (Rasulullah) lebih ia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Nabi adalah sosok paling utama yang perlu kita cintai. Beliau adalah sosok yang telah menuntun kita untuk menapaki jalan iman dan islam. Lalu, bagaimana cara merawat cinta kepada Nabi Saw?
Menurut Syaikh Ibn al-Qayyim dalam Jalā’ al-Afhām, salah satu sebab bagi keberlangsungan cinta kita kepada Rasulullah Saw, bahkan menambah dan melipatgandakannya, adalah salawat.
Ini adalah salah satu simpul keimanan yang tidak bisa dilepaskan. Semakin banyak kita menyebut nama yang kita cintai dan menghadirkannya dalam hati, semakin berlipat ganda pula cinta kita kepadanya. Begitu juga dengan kerinduan. Ketika kita terus mengingat kebaikan-kebaikan yang dimilikinya, hati kita akan semakin tertambat sepenuhnya kepada sosok itu.
Sebaliknya, ketika kita berpaling dari mengingat dan menghadirkan kebaikan-kebaikan itu dalam hati, cinta kita akan berkurang. Tidak ada yang lebih menyejukkan mata seorang pecinta selain melihat orang yang dicintainya. Begitu pula tidak ada yang lebih menenangkan hatinya selain menyebut nama sang kekasih dan mengingat kebaikan-kebaikannya.
Ketika cinta ini menguat dalam hati, maka lisan akan mengalir dengan sendirinya memuji dan memuliakan sosok yang dicinta itu. Ia akan menyebut kebaikan-kebaikannya secara alami. Penambahan dan pengurangan dalam hal ini sangat tergantung pada seberapa besar cinta yang ada di dalam hati. Ini bisa kita rasakan sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Syaikh Ibn al-Qayyim bahkan mengutip seorang penyair yang heran ketika ada orang yang berkata, “Aku teringat orang yang kucintai.” Ia heran karena ungkapan “teringat” biasanya muncul setelah melupakan sesuatu. Kalau cintanya sempurna, bagaimana mungkin ia melupakan orang yang dicintainya?
عجبتُ لمَن يقُول ذكرتُ حِبي … وهل أنسَى فأَذكرَ من نسيتُ
“Aku heran pada orang yang berkata, ‘Aku teringat kekasihku.‘ Memangnya aku lupa, sehingga perlu teringat lagi pada orang yang kulupakan?”
Ada pula penyair lain yang menyebutkan bahwa cinta dan ingatan keapda kekasihnya suddah menjadi bagian dari tabiatnya. Ketika ada yang ingin mengubahnya, naluri tabiatnya menolak.
يُرادِ من القَلب نِسيانُكم وتأبَى الطِّباعُ على الناقِل
Hatiku diminta untuk melupakanmu, namun tabiatku menolak perpindahan (melupakan) itu.
Disebutkan juga dalam sebuah pepatah yang masyhur, “siapa yang mencintai sesuatu, ia akan memperbanyak mengingatnya (menyebutnya).” Inilah yang terjadi dengan salawat. Ketika kita memperbanyaknya, kita sedang merawat cinta kita kepada Rasulullah Saw. Kita menghadirkan beliau dalam ingatan kita, merenungi akhlak dan kebaikannya, dan merasakan kerinduan untuk meneladaninya.
Salawat adalah nutrisi bagi cinta kita kepada Nabi Saw. Semakin lisan kita sering menyebut namanya, semakin tertancap pula nama itu dalam hati kita. Maka diharapkan dengannya, muncul rasa rindu, keinginan untuk lebih jauh mengenali pribadinya, hingga meneladani kemuliaan akhlaknya. Inilah sebenar-benar cinta yang tidak akan bertepuk sebelah tangan. Sebuah cintah yang tanpanya, keimanan kita tak akan sempurna.
Allāhumma shalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muhammad
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar