Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Orang Saleh itu Fleksibel

Imam Junaid pernah berkata, “orang yang jujur (shādiq) bergerak/berubah dalam sehari sebanyak empat puluh kali, dan orang yang riya’ (murā’ī) menetap pada satu keadaan selama empat puluh tahun.”

Terdengar aneh, kan? Bukankah konsistensi (istikamah) itu penting? Kok malah berubah-ubah?

Imam Nawawi, dalam muqaddimah kitab al-Majmū‘, menjelaskan maksud ungkapan ini, bahwa orang yang jujur itu senantiasa bergerak mengikuti kebenaran, ke mana pun kebenaran itu membawanya. Dia tidak terikat pada satu kebiasaan atau ritual tertentu. Dia fleksibel, tapi fleksibelnya berdasarkan prinsip mencari apa yang paling utama di waktu itu, sesuai dengan tuntutan syariat.

Contohnya, kalau waktu itu yang paling utama adalah salat, ya dia salat. Tapi kalau ternyata yang lebih utama adalah menemani tamu, duduk bersama ulama atau orang shalih, mengurus keluarga, membantu orang yang butuh pertolongan, atau menghibur orang yang sedih—dia akan melakukan itu. Dia tinggalkan kebiasaannya demi yang lebih utama.

Begitu juga dengan puasa, membaca al-Qur’an, berdzikir, makan, minum, serius atau bercanda, bergaul atau menyendiri, hidup sederhana atau menikmati nikmat Allah. Semua dia lakukan sesuai konteks. Dia tidak kaku pada satu pola saja.

Sebaliknya, orang yang pura-pura atau munafik malah terlihat konsisten. Dia selalu melakukan ritual yang sama, tampak istiqomah, tapi sebenarnya dia hanya nyaman dengan pola itu. Dia tidak mencari yang paling benar atau paling utama. Dia mencari yang paling aman untuk citranya.

Rasulullah sendiri contoh nyata dari fleksibilitas ini. Beliau punya berbagai kondisi dalam shalat, puasa, dzikir, makan, minum, pakaian, naik kendaraan, bergaul dengan keluarga. Ada saat beliau serius, ada saat beliau bercanda. Ada saat beliau tegas dalam mengingkari kemungkaran, ada saat beliau lemah lembut. Ada saat beliau memberi hukuman, ada saat beliau memaafkan. Semuanya sesuai dengan situasi dan apa yang paling tepat waktu itu.

Jadi, istikamah bukan berarti kaku. Tidak berarti kita harus melakukan hal yang sama persis setiap hari tanpa peduli konteks. Maka, istikamah yang sebenarnya adalah tetap pada kebenaran, bukan pada kebiasaan.

Orang yang jujur dalam beramal karena Allah itu hidup. Dia responsif terhadap kebutuhan, kondisi, dan prioritas yang berubah-ubah. Sedangkan orang yang ingin terlihat jujur (riya’)? Dia hanya akan mengulang pola yang sama karena merasa aman dan nyaman.

Jadi, fleksibilitas beramal sesuai tuntutan syariat adalah salah satu karakter orang saleh. Maka jadilah fleksibel, jangan kaku.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts