Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Empat Kemungkinan dalam Hidup

Hidup ini sebenarnya sederhana. Setidaknya begitu yang ditunjukkan oleh hadis Nabi tentang meninggalkan yang tidak penting. Imam Ibn Ḥajar al-Haitamī dalam Fatḥ al-Mubīn membagi kehidupan manusia menjadi empat kemungkinan: melakukan yang penting, meninggalkan yang tidak penting, meninggalkan yang penting, dan melakukan yang tidak penting. Dua yang pertama adalah baik, sedang dua yang terakhir adalah buruk.

Hadis ini begitu padat maknanya sampai-sampai Imam Abu Dawud menyebutnya sebagai seperempat (ajaran inti) Islam. Tapi Ibn Ḥajar tidak setuju. Menurutnya, hadis ini bukan hanya seperempat, bahkan bukan hanya setengah—ini adalah seluruh Islam. Kenapa? Karena Islam tidak lepas dari dua hal: melakukan yang penting dan meninggalkan yang tidak penting. Jika kita melihat bunyi hadisnya yang eksplisit menyebut “meninggalkan yang tidak penting,” ya, itu baru setengah. Tapi jika kita tangkap juga makna tersiratnya—yaitu “melakukan yang penting”—maka lengkaplah sudah. Itulah Islam secara utuh.

Inilah kalimat Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam yang ringkas, tapi komprehensif. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-jawāmi‘ al-kalim, yang merupakan keistimewaan baginda Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam. Beliau mampu menyampaikan makna yang sangat luas dengan kata-kata yang sangat sedikit. Tidak ada seorang pun sebelum beliau yang mampu melakukan hal serupa.

Hadis ini juga menjadi fondasi besar dalam mendidik jiwa, membersihkannya dari sifat-sifat buruk, dan meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya. Simpel, tapi sangat fundamental.

Ada cerita menarik tentang Luqman al-Ḥakīm. Suatu hari seseorang bertanya kepadanya, “Bukankah engkau dulu budak dari bani fulan? Apa yang membuatmu sampai pada derajat ini?” Luqman menjawab, “Takdir Allah, kejujuran dalam berbicara, dan meninggalkan apa yang tidak penting bagiku.”

Mari perhatikan tiga hal penting yang disampaikan oleh Luqman. Pertama, takdir memang bukan dalam kendali kita, tapi dua lainnya—kejujuran dan meninggalkan yang tidak penting—sepenuhnya ada di tangan kita. Artinya, kita punya kuasa untuk “mempengaruhi” takdir dengan sikap jujur dan meninggalkan hal yang tidak penting. Dengan begitu, Allah subhānahu wa ta‘ālā akan mengangkat derajat kita.

Imam al-Ḥasan al-Baṣrī pun pernah berkata, “Salah satu tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Dia menjadikan kesibukannya pada hal-hal yang tidak penting.” Kalimat ini cukup menyentil kita. Ketika kita terus-menerus sibuk dengan yang tidak penting, bisa jadi itu tanda bahwa kita sedang menjauh, atau dijauhkan, dari Allah subhānahu wa ta‘ālā.

Imam Ibn al-Ṣalāḥ juga pernah mengutip Ibn Abī Zayd, yang menyebutkan bahwa seluruh adab kebaikan berpangkal pada empat hadis. Salah satunya adalah hadis ini. Tiga lainnya adalah hadis tentang iman kepada Allah dan hari akhir hendaknya mengucapkan yang baik atau diam, hadis tentang jangan marah, dan hadis perintah mencintai saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri. Empat hadis ini menjadi panduan kehidupan kita agar tidak melenceng dari adab yang benar.

Dalam Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, disebutkan bahwa dalam suhuf Nabi Ibrahim ‘alayhissalām tertulis, “Orang yang berakal harus membagi waktunya menjadi beberapa bagian. Ada waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, ada waktu untuk menghisab diri, ada waktu untuk merenung tentang ciptaan Allah subhānahu wa ta‘ālā, dan ada waktu untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Orang yang berakal juga tidak boleh bergerak kecuali untuk tiga hal: bekal untuk akhirat, memperbaiki kehidupan dunia, atau kenikmatan yang tidak haram.”

Pembagian waktu ini setidaknya menunjukkan bahwa hidup memang harus dikelola dengan penuh kesadaran. Bukan asal jalan atau asal sibuk saja. Harus ada prioritas yang jelas terhadap hal-hal yang penting bagi kita, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.

Maka, kita perlu melihat diri dalam kerangka empat kemungkinan dalam hidup tadi. Apakah kita termasuk orang yang melakukan yang penting, dan meninggalkan yang tidak penting? Atau justru kita termasuk golongan orang-orang yang meninggalkan yang penting, dan melakukan yang tidak penting?

Hidup ini singkat, waktu kita terbatas. Sehingga, kita perlu benar-benar bijak untuk memilih mana yang penting dan mana yang tidak. Setelah itu, kita sandarkan seluruh pilihan amal kita terhadap timbangan ini. Jika penting, maka lakukan. Jika tidak, maka tinggalkan. Semoga Allah subhānahu wa ta‘ālā senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita. Amin.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts