Hampir setiap orang tahu bahwa belajar itu penting, tapi hampir setiap orang juga bingung harus belajar apa. Kita dibombardir dengan kursus online, workshop, webinar, dan segala macam program pengembangan diri. Semuanya menjanjikan transformasi. Semuanya mengklaim sebagai “investasi terbaik.” Tapi, apakah semua itu memang penting untuk dipelajari?
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu dikategorisasikan menjadi beberapa bagian. Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, ilmu syar’i menjadi tiga kategori; Pertama, fardhu ‘ain. Ini adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim tanpa bisa diwakilkan kepada orang lain; Kedua, fardhu kifayah, ilmu yang jika sudah dikuasai oleh sebagian anggota masyarakat, maka kewajiban bagi yang lain gugur. Terakhir, ada ilmu yang sifatnya sunnah, artinya bagus jika dimiliki, namun tidak masalah jika tidak memilikinya.
Jadi, belajar itu memang penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah mengetahui prioritas apa yang perlu dipelajari. Dalam hal ini, kita sebagai muslim wajib belajar ilmu yang termasuk kategori pertama, fardhu ‘ain. Ini adalah ilmu yang wajib dipelajari setiap orang tanpa terkecuali. Definisinya ialah ilmu yang tanpanya kita tidak bisa menjalankan kewajiban agama dengan benar.
Contohnya? Cara berwudhu yang benar, tata cara salat, bagaimana puasa yang sah. Semua ini wajib dipelajari. Kenapa? Karena kewajiban-kewajiban ini sudah melekat pada setiap muslim yang sudah baligh. Kalau tidak tahu caranya, bagaimana mau menjalankannya?
Imam al-Nawawi mengutip hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Ra, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda,
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Sebagian ulama mengatakan hadits ini merujuk pada fardhu ‘ain, sebagian lagi mengatakan fardhu kifayah. Namun yang perlu digarisbawahi, kewajiban belajar ini bersifat praktis. Artinya, seseorang wajib mempelajari ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban yang sudah ada padanya. Jika belum berkewajiban salat, belum wajib belajar tata cara salat. Jika belum punya harta yang cukup nisab, belum wajib belajar tata cara zakat.
Imam al-Nawawi sendiri memperinci beberapa perkara yang wajib untuk diketahui oleh setiap muslim, diantaranya:
Aqidah
Para ulama —baik salaf, fuqahā‘, dan muhaqqiqīn dari kalangan mutakallimīn— sepakat bahwa untuk urusan aqidah, yang wajib adalah membenarkan dan meyakini dengan yakin segala sesuatu yang dibawa (dikabarkan) oleh Rasulullah Saw. Keyakinan ini harus kokoh dan bersih dari segala keraguan.
Seseorang yang sudah mencapai keyakinan seperti ini tidak diwajibkan mempelajari dalil-dalil rumit yang dikembangkan para ahli kalam. Nabi Saw pun tidak pernah menuntut siapapun untuk mempelajari argumen-argumen filosofis tentang keberadaan Allah atau sifat-sifat-Nya, begitu pula para sahabat dan generasi salaf setelahnya.
Bahkan Imam al-Nawawi menyebutkan bahwa yang lebih baik bagi orang awam dan kebanyakan orang yang belajar fiqih adalah menghindari pembahasan detail ilmu kalam. Alasannya? Dikhawatirkan justru menimbulkan keraguan yang sulit dihilangkan.
Bahkan Imam al-Ghazali di akhir hidupnya menulis kitab berjudul Iljām al-‘Awām ‘an ‘Ilm al-Kalām (Membungkam Orang Awam dari Ilmu Kalam). Di dalam kitab itu, beliau menyebutkan bahwa semua orang—termasuk para fuqahā’—adalah “awam” dalam bidang ini. Hanya orang langka, yang nyaris tidak ada di setiap zaman, yang benar-benar kompeten dalam ilmu kalam.
Meskipun demikian, Imam al-Nawawi tetap menyebutkan pengecualiannya. Jika seseorang mengalami keraguan dalam hal-hal pokok aqidah yang harus diyakini, dan keraguan itu tidak bisa hilang kecuali dengan mempelajari dalil-dalil dari ahli kalam, maka belajar tentangnya menjadi wajib. Karena tujuannya menjadi jelas, yaitu menghilangkan keraguan dan mengokohkan aqidah.
Masih dalam ranah aqidah, bagaimana menyikapi ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah? Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits ini perlu ditakwil dengan makna yang layak bagi keagungan Allah Swt. Ini adalah pendapat yang lebih masyhur di kalangan ahli kalam. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak perlu ditakwil. Cukup diam dari membahas maknanya, menyerahkan ilmunya kepada Allah, sambil tetap meyakini bahwa Allah Maha Suci dan berbeda dari makhluk. Pendekatan ini disebut dengan tafwīdh. Misalnya ketika membaca:
الرحمن على العرش استوى
Kita beriman dengan ayat ini tanpa harus tahu persis makna hakikinya, sambil tetap meyakini bahwa laysa kamitslihi syaī’ —tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Imam al-Nawawi pun menambahkan, “Dia (Allah) Maha Suci dari tempat dan ciri-ciri makhluk.”
Ini adalah jalan ulama salaf atau mayoritas mereka. Menurut Imam al-Nawawi, jalan ini lebih selamat. Manusia tidak dituntut untuk mendalami hal ini. Jika sudah meyakini kesucian Allah dari menyerupai makhluk, tidak perlu mengambil risiko dengan membahas hal-hal yang tidak perlu.
Tapi jika muncul kebutuhan untuk menakwil—misalnya untuk membantah bid’ah atau sesat pikir—barulah dilakukan takwil saat itu. Semua pernyataan ulama tentang masalah ini harus dipahami dalam konteks ini.
Fikih
Pertanyaan selanjutnya, kapan seseorang wajib mempelajari ilmu-ilmu praktis seperti tata cara wudhu dan shalat?
Nah, kewajibannya datang ketika kewajiban itu ada padanya. Maksudnya begini, seseorang tidak wajib belajar cara salat sebelum salat itu menjadi kewajibannya (ketika baligh). Tapi jika kondisinya sedemikian rupa sehingga kalau menunggu sampai baligh, lalu dia tidak akan sempat belajar dan mengerjakan shalat dalam waktunya, bagaimana?
Imam al-Ghazali ragu dalam masalah ini. Tapi pendapat yang lebih kuat—menurut ulama lain—adalah wajib mendahulukan belajar sebelum waktunya tiba. Analoginya seperti orang yang rumahnya jauh dari masjid, dia wajib berangkat lebih awal agar bisa mengikuti salat Jumat.
Kemudian, jika kewajiban itu harus segera dilakukan (‘alā al-faur), maka belajarnya juga harus segera. Jika kewajibannya boleh ditunda seperti haji, maka belajarnya juga boleh ditunda. Penting untuk dicatat bahwa hal-hal yang wajib dipelajari adalah yang biasanya dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban. Adapun hal-hal yang jarang terjadi, tidak wajib dipelajari sampai kejadian itu benar-benar terjadi.
Contohnya masalah arah kiblat. Ada tiga pendapat: wajib ‘ain, wajib kifāyah, atau wajib kifāyah kecuali bagi orang yang hendak bepergian. Pendapat yang paling sahih adalah wajib kifāyah, kecuali jika seseorang hendak bepergian, maka menjadi wajib ‘ain baginya karena musafir umumnya membutuhkan ilmu ini.
Halal-Haram
Kemudian bagaimana dengan transaksi seperti jual beli dan nikah yang hukum asalnya tidak wajib?
Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali, dan ulama lainnya menyebutkan kewajiban bagi siapa saja yang hendak melakukannya untuk mempelajari tata cara, syarat, dan rukunnya terlebih dahulu.
Ada yang mengatakan redaksinya bukan “wajib mempelajari,” tapi “haram melakukannya tanpa mengetahui syaratnya.” Redaksi kedua inilah yang dinilai Imam al-Nawawi lebih tepat, dan hendaknya redaksi pertama dipahami dengan konteks yang serupa.
Sehingga ini berlaku juga dengan shalat sunnah. Haram untuk melaksanakannya jika belum tahu tata caranya. Tapi, bukan berarti wajib mempelajari tata cara shalat sunnah itu —karena ini bukan kewajiban.
Kemudian, seseorang juga wajib mengetahui mana yang halal dan haram dari makanan, minuman, pakaian, dan hal-hal lain yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Jika punya istri, wajib tahu hak-hak istri. Jika punya budak—dalam konteks zaman dulu—wajib tahu hak-hak budak, dan seterusnya.
Tanggung Jawab Orang Tua
Makanya Imam al-Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’i menegaskan bahwa orang tua wajib mengajarkan anak-anak mereka hal-hal yang akan menjadi kewajiban setelah baligh.
Seorang wali (orang tua atau siapapun yang bertanggung jawab atas anak) harus mengajarkan anak tentang thaharah, shalat, puasa, dan sebagainya. Harus memberitahu bahwa zina, liwath (LGBT), mencuri, minum khamr, berbohong, dan ghibah itu haram. Harus menjelaskan bahwa setelah baligh mereka akan menjadi seorang mukallaf (dibebani hukum syariat), dan harus memberitahu tanda-tanda baligh.
Ada yang mengatakan pengajaran ini hanya sunnah. Tapi pendapat yang sahih—dan ini jelas dari nash Imam al-Syafi’i—adalah wajib. Sebagaimana wali wajib menjaga harta anak, maka mengajarkan agama justru lebih utama. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Nawawi.
Adapun yang sunnah adalah mengajarkan hal-hal di luar itu, seperti menghafalkan Quran, ilmu fiqih lanjutan, dan adab.
Selain itu, orang tua juga harus mengajarkan hal-hal yang memperbaiki kehidupan dunia anak. Dalil kewajiban mengajar anak dan budak adalah firman Allah Swt,
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (QS. Al-Tahrīm: 6)
Ali bin Abi Thalib, Mujahid, dan Qatadah mengatakan bahwa maknanya adalah “ajarilah mereka apa yang menyelamatkan mereka dari api neraka.”
Dalam Shahihain juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
كلكم راع، ومسئول عن رعيته
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.“
Lalu siapa yang menanggung biaya pengajaran? Untuk pengajaran kategori pertama (wajib), diambil dari harta anak jika ada. Jika tidak ada, dari harta orang yang menanggung nafkahnya.
Untuk pengajaran kategori kedua (sunnah), Imam al-Baghawi menyebutkan dua pendapat. Pendapat yang lebih sahih: dari harta anak, karena ini adalah kemaslahatan untuknya. Pendapat kedua: dari harta wali, karena tidak ada unsur dharurat di dalamnya.
Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa Imam al-Syafi’i dan para ulama setelahnya memasukkan ibu dalam tanggung jawab ini karena mengajar termasuk dalam tarbiyah (mendidik), yang wajib pada ibu sebagaimana wajibnya nafkah.
Tasawuf atau Tazkiyah al-Nafs
Lalu, bagaimana dengan ilmu tentang penyakit hati seperti hasad, ujub, dan sejenisnya?
Menurut Imam al-Ghazali, mengetahui batasan-batasannya, sebab-sebabnya, cara mengobatinya, dan cara menyembuhkannya adalah fardhu ‘ain.
Ulama lain berpendapat berbeda. Jika seseorang dikaruniai hati yang bersih dari penyakit-penyakit haram ini, itu sudah cukup. Tidak wajib mempelajari obatnya.
Jika hatinya tidak bersih, maka ada dua kemungkinan. Pertama, jika dia bisa membersihkan hatinya tanpa belajar teori, maka wajib membersihkannya—seperti wajib meninggalkan zina tanpa perlu belajar dalil-dalil pengharamannya. Kedua, jika tidak bisa membersihkan hatinya kecuali dengan mempelajari ilmu yang disebutkan Imam al-Ghazali tadi, barulah wajib mempelajarinya.
Nah, dari semua penjelasan Imam al-Nawawi di atas, kita bisa menarik beberapa insight penting:
Pertama, ilmu agama yang wajib dipelajari adalah ilmu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban yang sudah ada. Tidak lebih, tidak kurang. Seseorang tidak dituntut untuk menjadi ahli fiqih atau teolog hanya untuk menjalankan kewajiban dasarnya sebagai muslim.
Kedua, belajar itu bertahap sesuai dengan kebutuhan. Jika belum menikah, maka belum ada kewajiban belajar hukum nikah. Jika belum punya harta sampai nisab, maka belum wajib pula untuk belajar hukum zakat.
Ketiga, untuk urusan aqidah, keyakinan yang kokoh sudah cukup. Tidak perlu mendalami argumen-argumen filosofis kecuali jika ada keraguan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan itu, atau ada kebutuhan untuk membantah bid’ah.
Keempat, jalan ulama salaf dalam menyikapi ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah adalah lebih selamat: beriman dengan nash-nash tersebut, menyerahkan maknanya kepada Allah, sambil tetap meyakini kesucian Allah dari menyerupai makhluk.
Kelima, orang tua bertanggung jawab mengajarkan anak-anak mereka. Ini bukan sekadar anjuran, tapi kewajiban.
Maka, agama tidak pernah menuntut kita untuk menjadi ensiklopedia berjalan atau ahli teologi yang menguasai semua perdebatan filosofis. Tuntutannya simpel, pelajari apa yang kita butuhkan untuk menjalankan kewajiban kita.
Pendekatan ini sebenarnya sangat realistis dan manusiawi. Bayangkan jika setiap orang diwajibkan menguasai semua cabang ilmu agama sampai detail-detailnya. Kapan kita akan punya waktu untuk bekerja, mencari nafkah, atau mengurus keluarga?
Agama memahami bahwa manusia punya keterbatasan. Maka ia hanya mewajibkan yang esensial, yang tanpanya kewajiban tidak bisa terlaksana. Sisanya diserahkan pada pilihan masing-masing sesuai minat dan kapasitas.
Jadi ketika ada yang bertanya, “Ilmu apa yang wajib kita pelajari?” Jawabannya: pelajari ilmu yang kita butuhkan untuk melaksanakan kewajiban yang sudah ada pada kita sekarang. Sudah baligh dan muslim? Pelajari cara thaharah dan salat. Sudah punya penghasilan cukup nisab? Pelajari zakat. Mau menikah? Pelajari hukum nikah, dan begitulah seterusnya. Intinya, harus ada ilmu sebelum beramal. Maka, perhatikan prioritas belajar kita.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar