Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Mengapa Islam Muncul di Jazirah Arab?

Langsung saja, Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah memberikan analisis yang cukup komprehensif tentang hal ini. Menurut beliau, untuk memahami pilihan Allah Swt ini, kita perlu melihat kondisi bangsa-bangsa di sekitar jazirah Arab pada masa itu. Mari kita mulai dari sana.

Pada abad ke-6 Masehi, dunia dikuasai oleh dua peradaban superpower: Persia dan Romawi. Keduanya memiliki peradaban yang maju, teknologi yang canggih pada zamannya, dan kekuatan militer yang luar biasa. Tapi di balik beragam keistimewaan itu, ada masalah serius yang rupanya mulai menggerogoti kedua imperium ini.

Peradaban Persia tengah dilanda kekacauan spiritual dan moral. Mereka menganut kepercayaan Zoroaster yang dipraktikkan oleh kalangan penguasa dengan cara yang sangat menyimpang. Bayangkan, dalam ajaran mereka, menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara kandung dianggap mulia. Yazdegerd II yang berkuasa pada abad ke-5 bahkan menikahi putrinya sendiri. Selain itu, ada juga aliran Mazdakiyyah yang mengajarkan komunisme ekstrem: semua harta dan wanita menjadi milik bersama.

Di sisi lain, peradaban Romawi Byzantium memang secara resmi memeluk agama Kristen, tapi praktiknya jauh dari nilai-nilai aslinya. Mereka sibuk dengan konflik teologis internal, menindas komunitas Kristen Koptik di Mesir dan Suriah yang berbeda mazhab. Ekonominya juga terpuruk karena pajak yang mencekik rakyat, demi membiayai ambisi ekspansi militer. Selain itu, tindakan korupsi dan kemewahan berlebihan sudah menjadi pemandangan biasa di kalangan elite.

Selain dua peradaban besar ini, ada juga peradaban Yunani yang sudah lebih dahulu tenggelam dalam khayalan filosofis yang tidak produktif. Mereka sibuk dengan spekulasi teoritis tentang mitologi dan legenda, tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. India pun tidak lebih baik. Para sejarawan sepakat bahwa periode abad ke-6 adalah masa terburuk dalam sejarah India dari segi agama, moral, dan sosial.

Di tengah kekacauan peradaban-peradaban besar itu, jazirah Arab tampak seperti oasis di tengah padang yang tandus. Peradaban ini —sebenarnya tidak layak disebut sebagai peradaban— jauh dari kata sempurna, tapi mereka belum “tercemar” oleh kompleksitas peradaban yang salah arah.

Orang Arab saat itu tergolong masih hidup dengan sederhana jika dibandingkan dengan kemegahan peradaban lainnya. Mereka belum memiliki kemewahan Persia yang membuat orang menjadi terlalu kreatif dalam menciptakan penyimpangan moral. Mereka juga tidak punya ambisi militer seperti Romawi yang mendorong eksploitasi. Filosofi rumit Yunani yang menjerumuskan pada spekulasi kosong juga belum sampai ke telinga mereka.

Akan tetapi, karakter dasar orang Arab justru menyimpan potensi besar untuk membangun sebuah peradaban yang besar. Mereka punya sifat-sifat mulia seperti kesetiaan, keberanian, kemurahan hati, kehormatan, dan kesucian. Masalahnya, mereka tidak tahu cara yang benar untuk mengekspresikan nilai-nilai itu. Karena keterbatasan pengetahuan, mereka kadang salah arah. Maka mereka membunuh anak perempuan atas nama kehormatan, menghamburkan harta demi gengsi, atau berperang tanpa sebab yang jelas.

Syaikh al-Buthi menggambarkan kondisi mereka seperti “bahan mentah” yang belum diolah. Fitrah manusia yang baik masih terlihat jelas dalam komunitas ini, tapi sangat butuh bimbingan untuk mengarahkannya ke jalan yang benar. Inilah yang Allah Swt maksud dalam al-Qur’an ketika menyebut mereka “ummiyyin” dan “fi dalalin mubin” – bukan untuk menghina, tapi justru menunjukkan bahwa mereka masih bisa diperbaiki.

Nah, inilah salah satu hikmah terbesarnya kenapa Islam lahir di jazirah Arab. Syaikh al-Buthi menganalogikannya dengan alasan kenapa Nabi Muhammad Saw dipilih sebagai orang yang ummiy (tidak bisa baca-tulis). Keduanya punya tujuan yang sama, yaitu agar tidak ada keraguan tentang sumber ajaran Islam.

Kita tentu bisa membayangkan jika Islam muncul di Persia atau Yunani yang memiliki tradisi filosofis dan khazanah pemikiran yang kompleks. Pasti akan banyak yang berspekulasi, “ah, ini cuma kelanjutan dari tradisi pemikiran mereka.” Atau jika muncul di Romawi dengan sistem hukumnya yang tergolong maju, “Islam ini pasti hanya diadaptasi dari hukum Romawi.”

Dengan memilih jazirah Arab yang “bersih” dari tradisi intelektual besar, Allah Swt memastikan bahwa tidak ada yang bisa meragukan bahwa Islam adalah ajaran yang murni bersumber dari wahyu Ilahi. Karena akhirnya tidak ada satu peradaban lain pun yang bisa diklaim sebagai “sumber inspirasi” ajaran Islam.

Selain itu, ada beberapa hikmah praktis lainnya, seperti:

Pertama, jazirah Arab terletak di tengah-tengah peradaban besar dunia saat itu. Posisi geografis ini sangat strategis untuk menyebarkan Islam ke segala penjuru. Dari jazirah Arab, dakwah bisa menjangkau Persia di timur, Romawi di utara, Afrika di barat, dan India di tenggara. Akses ke seluruh penjuru peradaban besar ini relatif sangat mudah.

Kedua, Allah Swt sudah menjadikan Makkah sebagai pusat spiritual dunia sejak zaman Nabi Ibrahim As. Ka’bah sudah dikenal sebagai Baitullah oleh berbagai suku. Sehingga sangat logis jika utusan terakhir Allah Swt juga berasal dari tempat yang sama.

Ketiga, bahasa Arab lah yang terpilih menjadi bahasa Al-Qur’an. Dari segi linguistik, bahasa Arab memiliki keunggulan tersendiri dibanding bahasa-bahasa lain dalam hal presisi makna, kekayaan kosakata, dan fleksibilitas ekspresi.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts