Suatu hari, Abū ‘Amr bin ‘Ulwān keluar rumah menuju Sūq al-Raḥbah (pasar al-Rahbah) untuk suatu keperluan. Di jalan, ia melihat jenazah lewat dan memutuskan untuk mengikutinya agar bisa menyalatkan mayit. Ia menunggu hingga jenazah dimakamkan. Saat itulah, tanpa sengaja, matanya jatuh pada seorang perempuan yang kebetulan tidak menutup wajahnya. Pandangannya tertahan sejenak, lebih lama dari yang seharusnya. Begitu sadar, ia langsung ber-istirja’ dan memohon ampun kepada Allah. Setelah itu, ia pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, seorang nenek berkata kepadanya, “Wahai tuanku, kenapa wajahmu tampak menghitam (suram)?” Abū ‘Amr terkejut. Ia mengambil cermin dan melihat. Benar saja, wajahnya berubah seperti yang dikatakan nenek itu. Ada noda tak kasat mata yang entah bagaimana caranya, tampak sangat jelas di wajahnya. Ia pun menelusuri kembali apa yang dialaminya pada hari itu. Ingatannya kembali pada pandangan yang tadi ia lakukan. Ia lalu menyendiri di suatu tempat, memohon ampun kepada Allah selama empat puluh hari penuh.
Melalui kisah ini, kita bisa melihat bahwa hati seorang wali Allah sangatlah sensitif terhadap perbuatan dosa. Sebuah pandangan yang bahkan tidak disengaja bisa berdampak padanya. Ini mengisyaratkan bahwa semakin dekat seseorang kepada Allah, semakin peka pula ia terhadap “pelanggaran-pelanggaran” yang tampak kecil di mata orang biasa. Bagi kebanyakan orang, pandangan itu mungkin tidak ada artinya. Tapi bagi mereka yang hatinya sudah bersih, noda sekecil itu rasanya akan cukup mengganggu.
Perumpamaannya seperti sebuah baju putih yang telah dicuci bersih, namun tiba-tiba ada setetes kotoran yang jatuh di atas baju itu. Setetes kotoran itu tampaknya sudah cukup mampu mengurangi kepercayaan diri siapapun yang mengenakannya. Maka menjadi wajar jika Abū Amr tidak meremehkan noda itu, apalagi sampai menganggapnya bukan sebuah kotoran. Ia segera menyucikannya dengan memohon ampun kepada Allah, berulang kali, dalam rentang waktu yang lama. Bayangkan saja bagaimana jadinya baju dengan setitik noda itu jika dicuci berulang kali selama berhari-hari. Bukan saja hilang nodanya, namun seluruh bagian baju itu akan menjadi lebih bersih lagi.
Kisah Abū ‘Amr ini juga mengingatkan kita tentang adab menundukkan pandangan. Allah berfirman,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Nūr [24]: 30)
Syaikh Ibn ‘Asyūr menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan perintah untuk menahan pandangan (kepada ajnabi), membatasi diri pada pembicaraan, dan tidak melihat kepada lawan bicaranya kecuali pada hal yang sulit untuk dialihkan. Bagaimanapun, menahan pandangan secara total tidaklah mungkin. Oleh sebab itu ayat ini menggunakan lafal “min” yang menunjukkan makna sebagian. Ini memberi isyarat bahwa yang diperintahkan untuk ditundukkan adalah pandangan pada hal-hal yang tidak pantas untuk ditatap secara langsung. Seorang Muslim akan mengingat hal ini dengan menghadirkan kembali hukum halal dan haram dalam urusan pandangan. Sehingga ia mengetahui bahwa menahan pandangan itu bertingkat-tingkat, ada yang wajib, dan ada yang tidak sampai wajib.
Kembali pada kisah di atas, noda dosa pandangan itu akhirnya tampak pada wajah Abū ‘Amr secara fisik. Ini bisa dipahami sebagai manifestasi lahiriah dari keadaan batinnya. Ketika hati terkena noda, wajah pun ikut berubah. Para ulama sering mengatakan bahwa cahaya wajah adalah cerminan dari cahaya hati. Kalau hati bersih, wajah akan memancarkan cahaya. Kalau hati kotor, wajah akan tampak gelap.
Kita mungkin tidak sampai pada maqam Abū ‘Amr, entah karena sudah terlalu familiar dengan dosa atau bagaimana. Tapi yang jelas, kepekaan itu bisa dilatih. Kita bisa meniru bagaimana Abū ‘Amr melakukan introspeksi diri. Jika dilakukan setiap hari, kita akan menjadi lebih peka dengan kesalahan-kesalahan yang tampak sepele itu. Mari kita usahakan kesadaran itu.
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar