Ada sebuah kisah menarik yang sangat bisa kita ambil hikmahnya, mengingat fenomena hijrah hari ini juga semakin digandrungi masyarakat kita. Kisah ini terdokumentasi dalam kitab berjudul Hayat al-Salaf baina al-Qaul wa l-‘Amal yang ditulis oleh Ahmad Nasir Tayyar, yaitu tentang hijrahnya seorang Syaqiq bin Ibrahim dari hiruk pikuk ramainya dunia menuju jalan sunyi para sufi.
Syaqiq berujar, “Dahulu aku adalah seorang penyair yang bergelimang harta, kemudian Allah memberikan padaku rizki yang lebih besar, taubat. Dan aku melepaskan diri dari kehidupan mewahku, kurelakan 300 ribu dirham demi untuk berpakaian shuf (pakaian lusuh dari wol) selama 20 tahun. Sungguh, aku tidak pernah merasa setertipu ini hingga aku bertemu dengan Abdul Aziz bin Abi Rawwad.”
Kemudian Abdul Aziz berkata pada Syaqiq, “Tidak penting, jika kamu hanya menyibukkan diri dengan memakan jerawut dan memakai pakaian shuf. Hal yang seharusnya penting adalah saat engkau mengenal Allah dalam dadamu dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, dan hendaknya kamu ridho dengan segala ketentuan-Nya, hingga engkau lebih yakin dengan apa yang datang dari Allah daripada apa yang datang dari tangan manusia”
Tampaknya kisah ini cukup relevan di zaman sekarang, tentu saja meskipun saat ini jalur hijrah yang ditempuh bukan jalur sufi seperti yang dilakukan Syaqiq. Tapi jika ditarik benang merah, Syaqiq meninggalkan dunianya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sayangnya, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk fokus pada pakaiannya, apa yang sepertinya terlihat oleh manusia.
Nyatanya beberapa tahun kebelakang juga terjadi fenomena seperti kisah diatas, bahkan dalam konteks masyarakat luas. Bagaimana banyak artis, tokoh masyarakat, hingga orang awam melakukan hijrah, sampai-sampai muncul komunitas hijrah dan semacamnya. Jika mau ditarik lebih dalam lagi, hijrah sebagai sebuah komoditas pun sudah memiliki nilai yang sangat besar.
Bukankah ini sebuah pertanda bahwa islam semakin mudah diterima sebagai pilihan jalan hidup manusia? Betul sekali, setidaknya kesadaran beragama semakin hidup di tengah masyarakat kita. Bukankah ini hal yang selalu diinginkan oleh para ulama’ nusantara terdahulu? Dimana agama bisa mewarnai seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, sebagai apapun dia.
Sayangnya, ada setitik tinta di kain putih suci ini. Seperti beberapa laku sebagian kaum “muhajirin” yang merasa bahwa jalannya adalah satu-satunya jalan kebenaran. Sebagian lain yang sangat bersemangat mulai menyeru ke “jalan Allah” dengan modal ilmu yang sangat sedikit.
Jika kembali ke kisah diatas, masa-masa seperti ini akan habis dengan sendirinya, dan mereka mau mengambil pelajaran dari semua yang dilaluinya. Sehingga, alangkah baiknya langkah awal kehidupan pasca hijrah juga diimbangi dengan banyak-banyak mengambil ilmu dari ulama’, agar hasilnya bukan tampilan lahir semata. Tapi juga pensucian ruhani, sehingga tumbuh keyakinan bahwa Allah adalah rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya. Hingga puncaknya, tumbuh keyakinan seyakin-yakinnya bahwa Tuhan maha mengetahui apa yang ada di dalam hati manusia.
Saat keyakinan itu tumbuh, pastilah ia tidak akan memikirkan apa yang datang dari manusia, baik itu penglihatannya, maupun pujian-pujiannya. Sehingga muncul keridhaan atas apa yang telah ditetapkan Tuhan. Jika seorang Syaqiq bin Ibrahim yang terkenal dengan kesufiannya saja pernah terjebak di fase ruwet selama 20 tahun, lalu bagaimana dengan manusia zaman sekarang? Sebelum semuanya ruwet, mari segera kita hijrahkan hijrah kita. Wallahu a’lam.
Tabik,
Ibnu Masud