Beberapa waktu yang lalu, pengajian kitab Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah di kantor sampai pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang bunyinya :
أحبب حبيبك هوناما، عسى أن يكون بغيضك يوماما, وابغض بغيضك هوناما، عسى أن يكون حبيبك يوماما
Artinya: Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, bisa jadi ia akan menjadi musuhmu suatu hari nanti. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, boleh jadi ia akan menjadi kekasihmu suatu saat nanti.
Hadits ini memang banyak diperdebatkan tingkat keshahihannya oleh para ahli hadits, ada yang menyebutnya gharib, ada yang mengatakan statusnya marfu’, ada juga yang men-shahih-kannya, bahkan tidak sedikit yang menyebutnya dhoif atau lemah. Perbedaan pendapat seperti ini sebenarnya sudah biasa di kalangan ahli hadits, karena sejatinya status level hadits adalah salah satu bentuk ijtihad para ahli hadits.
Terlepas dari itu semua, kita boleh saja mengambil manfaat dari hadits ini karena tidak terpaut dengah dalil hukum fiqih. Sebagaimana pendapat ulama Syafiiyah yang menyatakan bahwa menggunakan hadits dhoif pun boleh saja sebagai fadhail al-amal asalkan tidak bertentangan dengan Qur’an dan hadits sahih.
Kata ‘Asaa dalam Ranah Kehidupan Sosial
Dalam kitab suci, beberapa ditemukan kata ‘asaa (terj: bisa jadi) di beberapa surat yang berbeda. Beberapa ayat itu antara lain:
Wa ‘asaa an takrohu syai’an wahuwa khoirun lakum, wa ‘asaa an tuhibbu syai’an wahuwa syarrun lakum (Al-Baqoroh).
Artinya: “Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik untuk kalian. Bisa jadi juga kalian sangan mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuk kalian.”
Adapun di juz 28 dalam surat Al-Mumtahanah juga akan ditemui, ‘Asaa Allahu an yaj’ala baynakum wa bayna alladzina ‘adaytum minhum mawaddah.
Artinya: “Bisa saja Allah menjadikan rasa kasih sayang diantara kalian dan orang-orang yang kalian musuhi”
Beberapa ayat diatas adalah contoh nyata bahwa manusia itu memang makhluk yang sangat dinamis, pagi sayang, malamnya sudah perang. Bagaimana mungkin? ya mungkin saja, namanya juga makhluk.
Maka akan banyak sekali dijumpai dalam kehidupan ini, awalnya cinta berubah jadi kecewa, bermula benci tapi rindu juga, dan seterusnya. Itulah kenapa mayoritas kaum sufi lebih memilih meletakkan rasa suka dan cinta pada tempat yang tepat, yaitu cinta pada rabbul ‘alamin. Karena Allah adalah dzat yang absolut dan pasti, sedangkan makhluk hanya akan selalu diliputi dengan segala ke-bisa jadi-annya dan semua ketidak pastiannya.
Lalu? simpulkan saja sendiri 🤭.
Wallahu a’lam.