Ibnu Rusyd (1126–1198 M), seorang filosof asal Spanyol berpendapat bahwa keindahan selalu ditentukan oleh tiga aspek kenyataan fisik, yakni tartib (tatanan), tanasub (proporsi), dan nidzam (harmoni). Sesuatu akan disebut indah apabila hal itu tertata, mengandung stuktur yang padu, dan memiliki harmoni antar-bagiannya. Maka, ajaran estetika ala Ibnu Rusyd sudah pasti memiliki dua ciri pokok, kognitif dan rasional.
Konsep ajaran estetika Ibnu Rusyd sampai hari ini masih sangat teraplikasikan dalam praktik-praktik seni maupun desain. Dalam keseharian saya sebagai Product Designer di Sebo Studio, teori-teori estetika dan etika — saya akan membahasnya dalam artikel yang berbeda — yang dikemukakan oleh para filosof abad pertengahan seolah menjadi ruh dalam setiap proses pekerjaan saya. Pengaplikasian pandangan estetika ini bisa diterapkan sejak proses marketing (mencari klien) melalui media sosialnya para desainer seperti Dribbble, hingga proses pemecahan masalah dalam projek-projek yang kami kerjakan.
Pada kenyataannya, persepsi manusia terhadap apa yang dimaksud dengan indah tidak akan pernah sama. Inilah kenapa keindahan dikaitkan dengan sisi kognitif yang berkaitan dengan knowledge (pengetahuan), comprehention (pemahaman), application (penerapan), analysis (analisa), synthesis (sintesa), dan evaluation (evaluasi). Sehingga keindahan bisa saja bersifat lokal, tidak global. Kenapa? Tentu karena faktor-faktor kognitif itu sendiri. Contoh, warna merah identik dengan peringatan dan pentunjuk terhadap sesuatu yang berbahaya. Tapi dalam komunitas tertentu, warna merah bisa berarti warna keberuntungan dan puncak keindahan.
Saya memandang Dribbble sebagai suatu kelompok masyarakat besar yang didalamnya banyak terdapat desainer-desainer hebat. Karya-karya yang populer di platform ini sudah pasti memenuhi kualifikasi estetis sebagaimana dituturkan Ibnu Rusyd, yaitu tartib, tanasub, dan nizham. Tingkat pemahaman dan pengetahuan terhadap 3 prinsip ini bisa sama ketika masyarakat Dribbble aktif mengikuti perkembangan komunitas bertahun-tahun lamanya. Dengan kata lain, “selera” yang muncul dan menjadi kesepakatan secara tidak langsung dalam sebuah komunitas bisa saja tidak cocok dengan komunitas lain. Kesepakatan-kesepakatan atas penerimaan dan pemahaman terhadap 3 prinsip estetika ini kemudian dikenal dengan isitilah “design trend”.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah komunitas desainer, akan ada keumuman-keumuman yang akhirnya bisa dianggap sebagai sebuah kelaziman. Tentu ini didasari atas penerimaan kognitif dan rasional suatu kelompok desainer terhadap rumusan tartib, tanasub, dan nizham. Kemudian, penerimaan atas kesepakatan ini memunculkan sebuah trend yang akan terikat dengan dimensi ruang dan waktu. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada tren desain yang abadi.
Mengenal Market dan Audiens Sebuah Produk
Setiap tren desain yang diikuti pasti memiliki ruang-ruang market dan audiens (user) secara spesifik. Dalam konteks product design, bisa jadi audiensnya adalah sesama desainer, penikmat desain, hingga seorang pengguna desain. Sejatinya apa yang disebut market dan audiens tidak selalu sama, meskipun dalam beberapa hal bisa saja sama persis. Contoh simpelnya, saya mendesain produk mainan untuk anak-anak. Maka jelas, audiens atau penggunanya adalah anak-anak, sedangkan marketnya adalah orang tua mereka.
Estetika, sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd diatas menunjukkan bahwa keindahan itu sesuatu yang kodrati, artinya berasal dari dalam dirinya sendiri. Maka seharusnya tidak ada kata-kata komentar sinis ketika mengapresiasi keindahan suatu karya seperti, “bagus sih, tapi kebanyakan rounded”, atau “ini visualnya bagus sih, tapi fungsinya ngga jelas”. Mungkin ini bisa sama dengan seorang Ibu yang melihat mainan yang ia sendiri tidak paham cara menggunakannya, tidak jelas untuk apa, padahal anaknya ingin mainan itu. Maka dapat dikatakan bahwa ketidak-sepakatan terhadap suatu nilai estetika juga merupakan kewajaran.
Desain tidak harus cocok dengan apa yang diinginkan oleh semua orang. Fokus terhadap audiens akan jauh lebih penting untuk menyampaikan value dan solusi yang diciptakan.
Tweet
Boleh jadi pemahaman orang terhadap sebuah karya masih bersifat parsial dan belum comprehent. Sebagaimana dalam konteks komunitas Dribbble, desain yang baik hari ini adalah desain yang bisa diterima oleh komunitas. Penerimaan komunitas terhadap karya desain itu sudah pasti akan membuka pintu market yang lebih besar.
Ciri Khas dan Identitas
Identik bukan berarti sama. Kualitas desain secara estetis pasti akan kembali pada 3 prinsip yang diterangkan diawal. Semakin diulang-ulang, prinsip-prinsip itu akan menelurkan “tren lokal” atau ciri khas. Teman-teman desainer di tempat saya bekerja menyebutnya dengan design style. Tren lokal ini jika mendapatkan penerimaan akhirnya bisa menjadi tren global, baik itu dari sisi visual saja, ataupun solusi yang ditawarkan.
Dalam menghadapi audiens yang serupa, seorang desainer akan dihadapkan dengan pilihan estetis yang sudah ada dan terbukti berhasil. Pembeda dasarnya hanyalah identitas. Maka akan sangat sering kita temui desain-desain yang secara penataan layout, cara kerja, dan lain sebagainya mirip. Apakah ini salah? Sama sekali tidak. Kemiripan desain A dengan desain B adalah bukti bahwa desain tersebut bisa diterima oleh audiens yang serupa.
Serupa tapi tak sama 🙂
Saya percaya bahwa setiap desain dari sebuah produk memiliki tujuan-tujuan tertentu, idealnya selalu terkait dengan entitas bisnis serta untuk kepentingan audiens mereka. Maka sudah bisa dipastikan bahwa desain produk (misalnya dalam bentuk website/app) sebuah bisnis automobile tidak bisa sama dengan bisnis fashion, meskipun sama-sama jualan. Artinya, desainer tidak bisa memaksakan persepsinya terhadap estetika kepada semua orang.
Namun perlu dicatat bahwa dalam konteks komunitas seperti Dribbble, jualan estetika ini kebanyakan ditujukan kepada sesama desainer. Ya, desainer sebagai audiens. Maka menurut saya, mengikuti tren adalah hal yang baik. Lebih-lebih bisa memberikan nilai dan warna baru terhadap pemahaman estetika yang mengarahkan pada pembaruan tren.
Pada kenyataannya, pekerjaan seorang desainer akan menjadi lebih berat ketika berada di dalam tim yang sudah mature. Selain karena orientasi terhadap bisnis dan audiens lebih besar, hal ini juga tidak terlepas dari kematangan identitas sebuah produk yang memiliki ciri khas tertentu. Bagaimanapun melukis diatas kanvas kosong akan lebih mudah menghasilkan ketertataan, kepaduan, dan harmoni. Lalu bagaimana kita akan menghasilkan karya yang estetis jika kita melukis diatas kanvas yang sudah ada lukisannya?
Kesimpulan
Desain memang seperti itu, kadang ya boleh sama, kadang ya boleh tidak. Tergantung kebijaksanaan seorang desainer. Hanya saja, perlu dipahami bahwa estetika bukan hanya sesuatu yang tampak oleh mata saja. Tartib, tanasub, dan nizham bukan hanya berpacu pada realitas inderawi. Lebih dari itu, estetika juga menyangkut beberapa aspek non-inderawi seperti pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan lain sebagainya.
Dalam konteks Dribbble, tren adalah sebuah hasil kesepakatan bersama (mayoritas) yang tidak disadari. Tren tidak bersifat abadi dan relatif cepat berganti, sedangkan prinsip-prinsip kunci estetika sebagaimana diungkapkan Ibnu Rusyd akan jauh lebih langgeng untuk memicu perubahan-perubahan tren di masa depan.
Wallahu a’lam
InsyaAllah saya akan melanjutkan NgajiDesain berikutnya dengan tema Estetika dan Fungsi Desain (kurang lebih) atas pemahaman saya terhadap konsep-konsep yang ditawarkan oleh Ulama’ abad pertengahan 🙏🏼