Mlarat, sebuah status yang mungkin sangat dihindari oleh orang-orang zaman sekarang. Menjadi seorang fakir di zaman yang seba cepat ini sangat melelahkan. Selain sulit untuk mengejar kecepatan orang-orang yang lebih mampu, kadang statusnya ya cuma jadi bahan gojlokan teman-temannya. Iya to?
Nyatanya, sebagian orang juga menunjukkan bahwa kemlaratan itu bukanlah sebuah masalah yang serius. Selain karena sudah terbiasa mlarat dan susah, toh ini juga masalah status saja. Berapa banyak diantara kita yang sok merasa kasihan melihat temannya yang nganggur? Wong kadang rasa kasihan itu yang seakan menunjukkan kita lebih “mapan” daripada orang lain yang secara kasat mata “kurang mampu”. Padahal kadang orang yang kita kasihani itu ya tenang-tenang saja. Koyok yak-yak o ae hehe.
Terlepas dari baiknya rasa peduli dan keinginan untuk membantu orang lain, kadang kita juga perlu paham bahwa apa yang menurut kita baik dan ideal belum tentu cocok dengan orang lain. Ya, masalah status saja. Padahal, hakekatnya status dan nisbat itu tidak pernah benar-benar nyata kan?
Orang-Orang Fakir dan Pilihannya
Orang-orang fakir jalur independen (mlarat karepe dewe) ini kadang-kadang susah ditebak. Pola pikirnya pasti banyak menyalahi pola pikir linear manusia. Ketika teman-temannya sudah membahas investasi, perencanaan hidup jangka panjang, dll. Orang-orang ini paling cuma ngomong, “Alhamdulillah masih ada pekerjaan”. Potensinya memang dua, sudah terlanjur ikhlas dan ridho, atau malah putus asa. Hehe.
Tapi jangan salah, salah satu tanda kewalian itu ya pikiran yang kurang membumi. Bisa jadi orang-orang mlarat yang telaten dengan ikhlas dan ridho ini malah populer di alam langit. Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) yang dijuluki pemimpinnya para ulama di zamannya, pernah ngendikan begini:
اختار الفقراء خمسا واختار الأغنياء خمسا. واختار الفقراء راحة النفس، وفراغة القلب، وعبودية الرب، وخفة الحساب، والدرجة العليا. واختار الأغنياء تعب النفس، و شغل القلب، وعبودية الدنيا، وشدة الحساب، والدرجة السفلى
Orang-orang fakir yang ridha dengan kefakirannya akan memilih lima hal, sedangkan orang-orang kaya yang cinta hartanya juga akan memilih lima hal.
Sufyan ats-Tsauri
Orang-orang fakir memilih ketenangan jiwa, ketentraman hati, penghambaan kepada Allah, ringannya hisab, derajat yang tinggi di surga.
Sedangkan orang-orang kaya yang bangga dengan kekayaannya akan memilih lima hal lain, beban jiwa, sibuknya hati, pengabdian kepada dunia, beratnya hisab, dan derajat yang rendah.
Berdasarkan penjelasan yang ditulis oleh Syaikh Nawawi al-Bantani terhadap quote ini dalam kitab Nashaihul Ibad, orang-orang yang memilih untuk mempunyai mental fakir ini adalah orang yang memilih untuk mengistirahatkan jiwanya, serta menentramkan hatinya dari rasa kemrungsung terhadap beban-beban keduniaan. Selain itu kelompok ini juga memfokuskan diri pada tujuan awal penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah. Mereka mengharapkan kefakiran ini menjadi penyebab ringannya hisab di akhirat kelak, serta derajat yang mulia karena menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan yang sejati.
Orang-orang kaya yang cinta dunia, sudah barang tentu akan merasakan beban berat di jiwanya karena seluruh waktunya digunakan untuk berkhidmah pada harta. Mereka juga secara tidak sadar memilih sumpek dan sibuknya hati karena selalu memikirkan harta dunia.
Kemudian, mereka juga memilih untuk mengabdi (menjadi budak) pada dunia. Sebagaimana dikatakan pepatah arab, “Barang siapa mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi budaknya”. Banyaknya harta yang dikumpulkan juga menjadi penyebab beratnya hisab di akhirat. Tanpa sadar pula mereka memilih derajat yang rendah, karena menjadikan dunia sebagai tujuan tanpa mempertimbangkan kepentingan akhiratnya.
Dunia itu sifatnya hanya dua: Halalnya akan jadi beban hisab, haramnya sudah tentu jadi adzab.
Sayyidana Ali bin Abi Thalib
Potensi Menjadi Wali dengan Mental Fakir
Fakir dan Kaya sebenarnya tidak melulu tentang sesuatu yang tampak dalam ukuran dunia. Kadangkala ada orang yang secara dzahir tampak kaya dan berkecukupan, tapi sangat memiliki mental fakir sebagaimana disebutkan Imam Sufyan ats-Tsauri. Para sahabat kanjeng Nabi banyak sekali yang bermental fakir meskipun secara materiilnya sangat kaya raya. Sebaliknya, kadang juga ada orang yang secara dzahirnya kurang-kurang, tapi mentalnya adalah mental orang-orang kaya seperti diatas.
Para sufi juga banyak menuliskan dalam kitab mereka tentang pujian dan keutamaan menjadi fakir, tapi sama sekali tidak menyacat orang-orang kaya. Mereka lebih mengkritisi keburukan sifat “Hubb ad-Dunya”, atau cinta dunia dan sibuk dengannya. Karenanya, kesadaran tentang hakikat dan tujuan awal penciptaan manusia adalah obat dari segala penyakit hati. Ketika seseorang sadar bahwa tujuan hidup adalah untuk menghamba Allah, untuk apa menghamba pada dunia?
Nasihat Imam ats-Tsauri untuk menanamkan mental miskin inilah yang sebaiknya diamalkan. Sehingga, dalam kondisi apapun kita akan siap dengan konsekuensi kehidupan dunia dan sadar betul bahwa semua yang kita lakukan bertujuan untuk menghamba pada-Nya. Kalo sudah begini, insyaAllah wali lah. Hehehe
Tabik,
Ibnu Masud