Dalam dunia pesantren Indonesia, al-Ghazali adalah sosok yang sangat populer. Barangkali santri pesantren bisa menyebutkan lebih dari lima kitab karya al-Ghazali. Beliau adalah tokoh yang dijadikan sebagai rujukan pandangan tasawuf di Indonesia, setidaknya untuk kalangan Nahdhatul Ulama’. Dalam beberapa pandangan mistiknya, beliau menguraikan cara untuk memahami fenomena-fenomena ruhani secara gamblang dan jelas dalam kitab-kitabnya seperti Ihya’ Ulum al-Din, al-Arbain fi Ushul al-Din, Minhaj al-Abidin, al-Munqidz, dll.
Dalam memahami fenomena ruhani ini, al-Ghazali menyatakan bahwa perangkat paling vital untuk merasakan fenomena dahsyat ini adalah qalbu. Qalbu dalam pandangan al-Ghazali bukanlah hati sebagai segumpal darah yang terletak pada dada kiri bagian bawah di tubuh manusia, ia adalah “sesuatu” dalam diri manusia yang mampu menjangkau daya rohaniah ketuhanan. Dengan qalbu ini pulalah seluruh anggota tubuh manusia akan tunduk dan mengikutinya.
Qalbu bagi al-Ghazali juga seperti cermin, sedangkan ilmu merupakan pantulan gambar realitas yang termuat di dalamnya. Jika cermin ini tidak dalam kondisi bening dan tertutup kotoran-kotoran, maka cermin ini tidak akan bisa memantulkan realitas-realitas ilmu secara hakiki. Cara pembersihan hati inilah yang kemudian banyak dibahas al-Ghazali dalam teori tasawufnya. Sehingga, qalbu mampu merasakan ma’rifat dengan Allah melalui proses fana’ dengan musyahadahnya.

Fana’ dalam Perspektif al-Ghazali
Al-Ghazali secara eksplisit menyatakan bahwa Allah swt itu satu, yaitu satu bermakna tunggal. Allah bukanlah fisik yang dapat dibayangkan, serta bukan wujud yang dapat diukur. Allah tidak menyerupai bentuk fisik, baik kriterianya maupun keragamannya. Dia bukan atom dan tidak ditempati atom, bukan materi dan tidak ditempati materi. Bahkan Allah tidak serupa dengan maujud, dan sebaliknya. Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya, dan tidak ada sekutu baginya.
Bagi al-Ghazali, seorang arif tidak melihat apapun kecuali Allah swt. Ia tidak mengetahui apa saja selain-Nya. Tentu saja bukan dalam bentuk wujud-Nya, akan tetapi pada sisi ciptaan-Nya dan perbuatan-Nya. Dalam konteks ini, seorang arif tidak melihat dalam suatu af’al (hasil perbuatan), kecuali ada fa’il (pelaku perbuatan). Kemudian seorang arif yang sudah pada tahap ini akan melebur pengetahuannya tentang langit, bumi, hewan-hewan, tanaman, bahkan dirinya sendiri dan melihat dari sisi manapun bahwa semua ini adalah af’al-nya Allah swt. Sehingga apapun yang ada dalam dunia ini termasuk bentuk af’al Allah. Bentuk penyaksian ini adalah puncak syuhud kaum sufi yang disebut sebagai maqom fana’ dalam tauhid, karena ia melebur dan tenggelam bersama dirinya sendiri dalam ketauhidannya.
Fana’, diawali dengan proses wahdatu asy-syuhud. Hal ini berbeda total dengan konsep wahdatu al-wujud (pada masa itu) yang lebih dekat dengan praktek hulul dan ittihad. Terlihat dari bagaimana al-Ghazali menggambarkan fana’ dan syuhud ini secara rasional, yaitu bahwa seseorang tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali hanya Satu, dan ia tahu bahwa sesungguhnya yang hakikatnya Ada itu adalah Satu.
Al-Ghazali kemudian menjelaskan bahwa ketercampuran dan banyaknya yang ada, sebenarnya hanyalah karena keterpecahan penglihatan saja. Misalnya ketika melihat sosok orang hanya dari kakinya saja, kemudian tangannya, kemudian wajahnya, kemudian kepalanya, sehingga menjadi (seakan-akan) tampak banyak. Berbeda jika ia melihatnya secara utuh sebagai satu kesatuan dan menyeluruh, tentu dalam qalbu-nya tidak akan terbesit banyaknya variabel yang ada tersebut. Ia seakan-akan menyaksikan sesuatu yang tunggal (wahdatu asy-syuhud).
Fenomena wahdatu asy-syuhud ini adalah pengalaman ruhani yang dirasakan oleh qalbu. Sayangnya, banyak kesalahpahaman terjadi karena pengalaman dahsyat ini dituliskan atau diucapkan dengan kata-kata. Contoh saja yang pernah dilakukan Husein bin Mansur al-Hallaj dan Abu Yazid Busthomi. Keduanya sama-sama pernah mengalami fenomena ruhani yang dahsyat ini, namun banyak kalangan yang menolaknya. Kenapa? karena semua rasa dan penyaksian di hati tidak akan pernah mampu terungkapkan secara nyata (100% sama). Sebagus apapun kata-kata dirangkai, seindah apapun tulisan dibuat, tidak akan pernah bisa mengungkapkan pengalaman musyahadah yang terjadi antara manusia dan penciptanya.
Wallahu a’lam
*Disarikan dari Kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 3 Bab Min Ajaib al-Qalb dan Juz 4 Bab Tawakkal & Tauhid.
Tabik,
Ibnu Masud