Setelah membahas tentang apa itu taubat dan kewajibannya dalam artikel sebelumnya, Taubat: Langkah Pertama untuk Menuju Allah SWT, sekarang akan dibahas mengenai syarat dan rukun taubat sebagaimana dituliskan oleh para sufi dalam kitab-kitab mereka secara ringkas.
Menurut Imam al-Qusyairi, taubat bukanlah sekedar ucapan “Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya” tanpa ada rasa penyesalan di dalam ucapannya, dan tanpa ada kemauan untuk berpaling dari dosa. Ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi oleh seseorang agar taubatnya diterima. Pertama, penyesalan atas segala pelanggaran yang telah dilakukannya. Kedua, meninggalkan jalan licin yang berpotensi menjatuhkan ke dosa yang sama. Ketiga, tekad untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang sama.1
Tekad dan keteguhan hati ini haruslah benar-benar mantap. Misalnya, apabila seorang yang sakit mengetahui dengan betul bahwa ada buah-buahan yang jika ia memakannya, sakitnya akan tambah parah. Sehingga dia bersungguh-sungguh untuk tidak memakan buah-buahan itu selama masih sakit.2
Sedangkan para ulama ahli hakikat memberikan keterangan bahwa seseorang yang mengakui serta menyesali perbuatan maksiat yang dilakukannya, berarti dia telah bertaubat dengan sebenarnya. Karena Allah swt hanya menerangkan pengakuan dan penyesalan Nabi Adam as saja saat beliau bertaubat sebagaimana doanya yang termaktub dalam surat al-A’raf ayat 23. Seandainya ada perkara lain yang harus dilakukan selain mengaku dan menyesal, tentunya Allah swt akan menjelaskannya kepada manusia.3
Imam al-Ghazali dalam kitab terkahir yang ditulisnya, Minhajul Abidin, menyebutkan bahwa syarat dan rukun taubat ada empat. Pertama, benar-benar berniat meninggalkan perbuatan dosa. Kedua, bertaubat dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan di masa lalu. Ketiga, dosa yang dahulu pernah dilakukan harus dihindari pengulangannya kembali dengan cara mengabaikan kesempatan untuk berbuat dosa yang sama. Keempat, segala usaha yang dilakukan untuk meninggalkan perbuatan dosa hanya diniatkan untuk mengagungkan Allah swt.4
Menurut Imam al-Sya’rani, perkataan ulama’ yang mensyaratkan bahwa taubat haruslah disertai dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang telah dilakukan dan berkeinginan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya lagi hanyalah bersumber dari istinbath para ulama. Pada hakikatnya, seseorang yang sudah mengakui dan menyesali perbuatan maksiat yang dilakukannya sudah tentu akan meninggalkan kemaksiatan itu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan bertaubat, seseorang akan mendapat pengampunan dosa atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap hak-hak Allah swt.5 Adapun untuk pelanggaran atas hak-hak manusia atau kezhaliman antar keduanya, maka harus diselesaikan dengan aturan syariat.6
Adapun menurut Imam al-Ghazali, meskipun dalam teks hadits Nabi saw menyebutkan bahwa penyesalan adalah taubat, bukan berarti hanya dengan menyesal saja seseorang sudah dikatakan bertaubat. Bahkan belum tentu juga penyesalan adalah kriteria utama untuk menilai taubatnya seseorang. Kadangkala orang yang merasa menyesal dalam hati tentang kesalahan atau dosanya, ia tidak sungguh-sungguh menyesalinya. Bisa jadi ada faktor eksternal yang membuatnya takut untuk kehilangan salah satu hal seperti jabatan atau harta. Maka, menyesal saja belum bisa dikatakan sebagai taubat yang sebenarnya.7
Tabik,
Ibnu Mas’ud
Catatan Kaki:
1 al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2011), hal. 127.
2 Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin (Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, t.t.), hal. 262.
3 al-Sya’rani, al-Minah al-Saniyah, hlm. 71.
4 al-Ghazali, Minhaj al-Abidin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2017), hal. 20-21.
5 al-Sya’rani, al-Minah al-Saniyah, hlm. 71.
6 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Qul Hadzihi Sabili (Surabaya: Hai’ah Shofwah al-Malikiyah, t.t.), hlm. 105.
7 Imam al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, hlm. 21.