Jika sebelumnya telah dibahas tentang apa itu munāsabat, siapa al-Biqā‘i, sekaligus histori tentang kitab tafsirnya, sekarang akan dibahas tentang bagaimana metodenya dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur’ān.
Metode Penafsiran al-Biqā‘i dalam Naẓm al-Durār
Al-Biqā‘i menjelaskan secara panjang lebar dalam muqaddimah kitab tafsirnya tentang munāsabat dan menyatakan bahwa dengan ilmu ini, iman dalam hati menjadi mantap dan kuat. Hal ini dikarenakan ilmu munāsabat mampu mengungkap sisi kemukjizatan al-Qur’ān melalui dua cara: Pertama, yaitu dengan susunan kalimat sesuai dengan strukturnya. Kedua, dengan susunan yang sesuai dengan urutan.23
Cara yang pertama disebut juga dengan al-naẓm al-tarkibi (susunan struktural) yang merupakan susunan yang mencakup seluruh sisi balāghi yang tampak pada kalimat-kalimat al-Qur’ān . Adapun yang kedua disebut sebagai al-naẓm al-tartibi (susunan pengurutan) yakni susunan antara satu kalimat dengan kalimat lain yang urut dan teratur. Dalam lingkup ini, bukan lagi dibahas struktur yang membentuk satu kalimat saja, namun menekankan pembahasan tentang hubungan dan ketersinambungan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya. Ia juga menilai bahwa seluruh bagian dari al-Qur’ān adalah mukjizat. Sehingga setiap pemilihan kata, pembentukan kalimat, ayat, tema, dan suratnya bersifat mu‘jiz. Inilah yang menjadi perhatian al-Biqā‘i dalam tafsirnya, yaitu menemukan ketersinambungan antar ayat dan surat. 24
Dalam Naẓm al-Durār, al-Biqā‘i menggunakan beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’ān. Penafsirannya dimulai dari menjelaskan maksud dan tujuan utama diturunkannya al-Qur’ān , kemudian menjelaskan munāsabah al-Qur’ān, hingga diperdetail pada penafsiran surat dan ayat. Sehingga, secara umum metode yang digunakan oleh al-Biqā‘i dapat diperinci sebagai berikut:
- Menjelaskan tujuan dan maksud utama diturunkannya al-Qur’ān
Menurut al-Biqā‘i, ada al-maqṣad al-a’ẓam (maksud utama) atas diturunkannya al-Qur’ān. Hal ini disampaikannya ketika menafsirkan surat al-Fātihah. Menurutnya, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab adalah untuk menegakkan syariat. Penegakan syariat ini bertujuan untuk menghimpun manusia pada kebenaran, dan penghimpunan manusia dalam kebenaran ini bertujuan untuk mengenal Allah swt dan apa yang membuatnya ridha. Itulah maksud diturunkannya al-Qur’ān yang tercakup dalam surat al-Fātihah.25 Ia mengulangi tujuan utama diturunkannya al-Qur’ān beserta penjelasannya pada beberapa bagian dalam tafsirnya.26
Ia juga menerangkan bahwa dalam setiap surat terdapat maksud dan tujuannya masing-masing yang terikat dengan al-maqṣad al-a’ẓam. Sehingga tujuan setiap surat secara spesifik terikat dengan tujuan surat sebelum dan setelahnya. Misalnya dalam penjelasan tentang tujuan utama dari surat al-Baqarah, ia menitikberatkan pada makna yang menjadi dasar dari makna-makna yang terpancar dari makna al-Fatihah sebagai rangkuman dari makna al-Qur’ān secara keseluruhan seperti tentang iman kepada yang ghaib dan hari kiamat.27 - Menjelaskan hubungan antar surat dalam al-Qur’ān
Ketika hendak menafsirkan satu surat berikutnya, ia menyebutkan hubungannya dengan ayat atau surat sebelumnya. Bukan hanya itu, ia juga mengungkap bahwa ada ketersinambungan antara akhir dan awal al-Qur’ān. Ia menyatakan bahwa tidak ada perhentian yang sempurna dalam al-Qur’ān, termasuk dalam surat terakhir dan permulaannya (al-Fātihah). Akan tetapi surat tersebut (an-Nās) sebagai surat terakhir terhubung dengan surat al-Fātihah yang merupakan awal dari al-Qur’ān sebagaimana surat an-Nās terhubung dengan surat sebelumnya, bahkan lebih kuat hubungannya.28 - Menjelaskan tafsir suatu surat dan hubungannya dengan surat lainnya
Dalam menafsirkan surat, beberapa metode yang digunakan oleh al-Biqā‘i adalah:
Pertama, ia menyebutkan nama surat tersebut beserta nama-nama lainnya jika suatu surat memiliki lebih dari satu nama. Kadangkala ia juga menyebutkan penyebab dari penamaan surat tersebut. Kedua, ia memulai penafsiran setiap surat dengan menyebutkan tujuan utama dari surat tersebut, sehingga tampak suatu ikatan dan ketersinambungan pada setiap bagian al-Qur’ān .29
Ketiga, menafsirkan basmalah dalam setiap surat sesuai dengan keterkaitannya dengan surat tersebut.30 Keempat, menghubungkan satu surat dengan surat lainnya.31 Kelima, menghubungkan ayat terakhir dalam suatu surat dengan permulaan ayat berikutnya. - Menjelaskan tafsir suatu ayat dan hubungannya dengan ayat lainnya
Al-Biqā‘i menggunakan dua cara dalam mengungkap sebuah hubungan antar ayat dalam al-Qur’ān . Pertama, dengan menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Ia sering menggunakan kata lamma dalam menunjukkan keterkaitan antar ayat. Kedua, menjelaskan hubungan antar kalimat dalam satu ayat tertentu.32 - Beberapa metode lain yang digunakan
Selain keempat metode pokok yang digunakan oleh al-Biqai dalam tafsirnya, ada beberapa metode lain yang juga digunakannya dalam menafsirkan al-Qur’ān . Diantaranya adalah menggunakan riwayat, baik itu al-riwāyah al-shahīhah maupun isrā’iliyyāt yang bahkan secara jelas ia kutip dari taurat dan injil. Selain itu, ia juga menggunakan pendekatan linguistik baik itu berbasis ilmu nahwu, sharf, dan balāghah. Ia juga beberapa kali menyebutkan asbāb al-nuzūl dari ayat-ayat tertentu yang memiliki sebab turunnya ayat. Ia juga menggunakan pendekatan qira’āt dan isyārat khas ṣufi dalam tafsirnya.
Penutup
Karya tafsir al-Biqā‘i yang monumental ini berhasil mengungkap sisi ketersinambungan ayat dan surat dalam al-Qur’ān yang sangat sedikit dibahas oleh para mufassir pada masanya. Oleh karenanya sebagian ulama’ tafsir pasca era al-Biqā‘i banyak merujuk pada karyanya ketika mengungkap makna-makna tersembunyi dibalik munāsabah antar ayat atau surat al-Qur’ān.
Namun demikian, kitab tafsir ini bukan tanpa cela. Banyak ditemukan isrā’iliyyāt atau keterangan-keterangan tambahan dalam penafsiran yang berasal dari riwayat yang lemah, bahkan mengutip langsung dari Taurat dan Injil. Kutipannya yang bersumber dari Taurat ini bisa dilihat pada beberapa tempat berbeda dalam Naẓm al-Durār, contohnya adalah penafsirannya pada surat Yusuf ayat 65.33 Sedangkan kutipan dari Injil juga berada pada beberapa tempat berbeda, salah satunya terdapat pada penafsirannya terhadap surat al-Ma’idah ayat 46 dimana ia mengutip dari injil hingga 6 halaman panjangnya.34
Belum diketahui secara pasti alasan al-Biqā’i mencantumkan kutipan-kutipan dari Taurat dan Injil. Jika ditelisik mengenai kapabilitasnya sebagai muhaddiṣ, maka seakan-akan ia melanggar beberapa aturan normatif dalam menyampaikan riwayat. Namun jika lebih detail mengungkap kondisi sosial pada masa tersebut yang sarat konflik agama (dampak perang salib) dan kekuasaan, bisa jadi ini adalah suatu usaha untuk melakukan diskusi lintas agama sekaligus menarik hati umat Nasrani dan Yahudi untuk berinteraksi dengan al-Qur’ān.
Meskipun terdapat beberapa kritikan terkait sumber-sumber sekunder yang digunakannya dalam menafsirkan al-Qur’ān, sumbangsih manfaat yang diberikan oleh al-Biqā‘i melalui tafsirnya jauh lebih besar. Hal ini dibuktikan dari pujian al-Suyūṭi yang menyebutnya sebagai al-‘allāmah al-muhaddiṣ al-hāfiẓ.35 Selain itu, Quraish Shihab juga menggunakan penafsiran al-Biqā‘i sebagai salah satu sumber utama yang digunakannya untuk mengungkap munāsabah antar ayat dan surat dalam tafsir al-Misbah karyanya.36
Tabik,
Ibnu Mas’ud
Catatan Kaki:
23 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz I, hal. 7.
24 Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu…, hal. 143-146.
25 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz I, hal. 12.
26 Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu…, hal. 151.
27 Mahmud Taufiq Muhammad, Imam al-Biqā‘i: Jihāduhu…, hal. 158.
28 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz I, hal. 9.
29 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 95-100.
30 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 101.
31 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 103.
32 Akram Abdul Wahhab al-Maushili, Al-Imām al-‘Allāmah Burhan ad-Din…, hal. 104-105.
33 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz IV, hal. 69.
34 Al-Biqā‘i, Naẓm al-Durār fi Tanāsub… Juz II, hal. 468-473.
35 al-Suyūṭi, Naẓm al-‘Iqyan fi…, hal. 24.
36 Lihat: Muqaddimah Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.

Tinggalkan komentar