Pembahasan metodologi tafsir Ibnu Katsir belumlah lengkap tanpa membahas pendekatannya terhadap isrā’īliyyāt. Topik ini menjadi salah satu aspek yang kontroversial dalam tradisi tafsir, mengingat keberadaan kisah-kisah dari Bani Israil yang termaktub dalam berbagai kitab tafsir, termasuk karya Ibnu Katsir sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seorang mufassir yang sangat ketat dalam metodologi dapat mengakomodasi riwayat-riwayat yang kredibilitasnya perlu dipertanyakan?
Ibnu Katsir memiliki framework khusus untuk menangani isrā’īliyyāt, yang mengadopsi teori gurunya, Syaikh Taqiy al-Dīn Ibn Taimiyyah, sebagaimana tertuang dalam kitab Muqaddimah fī Ushūl al-Tafsīr. Framework ini merupakan pendekatan sistematis yang disusun dengan klasifikasi yang jelas, bukan berdasarkan pada pola penerimaan atau penolakan secara mutlak.
Landasan Hadis tentang Israiliyyat
Ibnu Katsir memulai pembahasan isrā’īliyyāt dengan merujuk pada hadis Nabi Saw yang menjadi landasan bagi kebolehan meriwayatkan kisah-kisah Bani Israil:
بلّغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil tanpa dosa, dan barangsiapa yang berbohong atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia menempati tempatnya di neraka.“
Hadis ini memiliki tiga dimensi: perintah menyampaikan ajaran Islam dari Nabi, kebolehan menceritakan kisah Bani Israil, dan peringatan keras tentang memalsukan hadis. Frasa “wa lā ḥaraj” (tanpa dosa) menunjukkan bahwa ini adalah rukhṣah (keringanan) atau pembolehan, bukan perintah yang menunjukkan keharusan.
Kebolehan ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, pada masa awal Islam banyak pertanyaan dari muallaf yang berlatar belakang Yahudi atau Nasrani tentang detail kisah-kisah yang disebutkan Al-Qur’an secara global. Kedua, Al-Qur’an seringkali menyebutkan kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu tanpa memberikan detail lengkap. Ketiga, terdapat nilai pedagogis dari kisah-kisah ini yang dapat mendukung pelajaran moral dalam Al-Qur’an.
Namun, penting dicatat bahwa hadis ini tidak menyatakan “jadikan sebagai tafsir Al-Qur’an” atau “anggap sebagai wahyu.” Kebolehan ini terbatas pada penceritaan, bukan penetapan sebagai rujukan otoritatif dalam memahami Al-Qur’an.
Klasifikasi Tiga Kategori Israiliyyat
Ibnu Katsir merumuskan klasifikasi isrā’īliyyāt menjadi tiga kategori dengan perlakuan yang berbeda untuk masing-masing:
لكن هذه الأحاديث الإسرائيلية تذكر للاستئناس، لا للاعتقاد، فإنها على ثلاثة أقسام: أحدها: ما علمنا صحته بما بأيدينا مما نشهد له بالصدق، فهذا صحيح. الثاني: ما علمنا كذبه بما عندنا مما يخالفه، فهذا مردود. الثالث: ما هو مسكوت عنه، لا من هذا القبيل ولا من هذا القبيل، فلا نؤمن به ولا نكذّبه، ويجوز حكايته
“Namun hadis-hadis israiliyyat ini disebutkan untuk memperkuat pemahaman, bukan untuk keyakinan. Israiliyyat terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, apa yang kita ketahui kebenarannya melalui apa yang ada di tangan kita yang bersaksi atas kebenarannya, maka ini benar. Kedua, apa yang kita ketahui kebohongannya melalui apa yang ada pada kita yang menentangnya, maka ini tertolak. Ketiga, apa yang tidak dikomentari, tidak termasuk kategori ini dan tidak juga kategori itu, maka kita tidak beriman kepadanya dan tidak mendustakannya, dan boleh menceritakannya.“
Kategori Pertama: Dikonfirmasi Sumber Islam
Isrā’īliyyāt yang mendapat konfirmasi dari Al-Qur’an atau hadis sahih dapat diterima karena adanya validasi silang dari sumber yang otoritatif. Kategori ini tidak bermasalah karena telah tersaring melalui filter sumber Islam yang otentik.
Kategori Kedua: Bertentangan dengan Sumber Islam
Isrā’īliyyāt yang bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadis sahih harus ditolak secara tegas. Kategorisasi ini jelas karena adanya konflik dengan sumber yang lebih otoritatif dan tidak dapat diragukan keabsahannya.
Kategori Ketiga: Wilayah Abu-abu
Kategori ini merupakan yang paling rumit, yaitu isrā’īliyyāt yang tidak mendapat konfirmasi atau penolakan eksplisit dari sumber Islam. Terhadap kategori ini, Ibnu Katsir menetapkan sikap “lā nu’minu bihī wa lā nukadzdzibuh” (tidak beriman kepadanya dan tidak mendustakannya). Ini adalah bentuk suspended judgment dengan tetap membolehkan penyebutannya.
Penggunaan dalam Praktik Tafsir
Meskipun memiliki framework teoritis yang jelas, dalam praktik tafsirnya Ibnu Katsir tetap memasukkan banyak riwayat isrā’īliyyāt. Beliau seringkali memberikan disclaimer seperti “wa Allāhu a’lam” (Allah lebih mengetahui) atau “hādzā min al-isrā’īliyyāt” (ini dari isrā’īliyyāt) sebagai penanda.
Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa kebanyakan isrā’īliyyāt berkaitan dengan detail yang tidak urgent untuk diketahui dalam konteks keagamaan, seperti nama-nama Ashabul Kahfi, warna anjing mereka, jumlah mereka yang sebenarnya, jenis kayu tongkat Nabi Musa, atau nama-nama burung yang dihidupkan Allah Swt untuk Nabi Ibrahim.
Beliau menyatakan bahwa detail-detail ini “mā lā fā’idah fīhi ta’ūdu ilā amr dīnī” (tidak ada manfaat yang kembali kepada urusan agama). Meskipun demikian, kisah-kisah ini tetap dicantumkan dalam tafsirnya dengan berbagai pertimbangan, (mungkin) termasuk nilai edukatif dan tradisi yang sudah mengakar dalam literatur tafsir.
Ketegangan Teori dan Praktik
Terdapat ketegangan antara framework teoritis yang ketat dengan implementasi praktis dalam karya tafsir Ibnu Katsir. Di satu sisi, beliau memiliki kesadaran metodologis yang tinggi tentang problematika isrā’īliyyāt. Di sisi lain, beliau tetap mengakomodasi banyak riwayat dari kategori ini dalam tafsirnya.
Ketegangan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pertimbangan nilai edukatif dan daya tarik naratif dari kisah-kisah tersebut. Kedua, respek terhadap tradisi tafsir yang sudah mapan. Ketiga, keinginan untuk menyajikan tafsir yang komprehensif dengan menyebutkan berbagai pendapat yang pernah muncul.
Namun, Ibnu Katsir konsisten dalam memberikan evaluasi kritis terhadap riwayat-riwayat yang dicantumkannya. Beliau tidak menerima semua isrā’īliyyāt dengan bobot yang sama, melainkan memberikan gradasi penilaian berdasarkan kualitas sumber dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam.
Pendekatan Metodologis
Framework isrā’īliyyāt Ibnu Katsir menggambarkan pendekatan metodologis yang sistematis dengan prinsip cross-validation. Setiap informasi haruslah dicek silang dengan sumber Islam yang otoritatif sebelum diterima atau ditolak. Prinsip ini menunjukkan sikap kehati-hatian dalam menangani sumber-sumber eksternal yang kredibilitasnya beragam.
Pendekatan tiga kategori ini juga menyinggung sesuatu yang tidak ada dalam wilayah hitam-putih. Ibnu Katsir mengakui adanya wilayah abu-abu yang memerlukan suspended judgment, yang tidak harus ditolak atau diterima secara total. Dari sini, terlihat adanya kematangan intelektual dalam menghadapi kompleksitas sumber-sumber tafsir.
Kesimpulan
Framework pembagian isrā’īliyyāt Ibnu Katsir merupakan upaya sistematisasi dalam menangani riwayat-riwayat yang berasal dari tradisi Bani Israil. Klasifikasi tiga kategori dengan perlakuan yang berbeda menunjukkan pendekatan yang cermat dan metodologis. Meskipun terdapat ketegangan antara teori dan praktik, framework ini memberikan panduan yang jelas dalam menilai kredibilitas dan otoritas berbagai jenis informasi isrā’īliyyāt yang terdapat dalam tafsir.
Pendekatan ini menunjukkan adanya upaya menyeimbangkan kemungkinan penerimaan sumber luar dengan tetap mengacu pada otoritas sumber-sumber Islam. Framework ini juga mengisyaratkan pentingnya critical thinking dalam menilai berbagai jenis informasi yang masuk dalam diskursus tafsir Al-Qur’an.
Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
Tabik,
Ibnu Mas’ud
*Artikel ini disarikan dari pembacaan dan refleksi penulis terhadap bagian muqaddimah dari kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm karya Abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Kaṡīr al-Dimasyqī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018).

Tinggalkan komentar