Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Apakah Doa Kita Pasti Dikabulkan?

Mungkin banyak dari kita yang menganggap doa itu seperti saklar lampu. Sekali klik, lampu menyala. Klik berikutnya, lampu mati. Hasil instan. Itulah yang selalu kita harap-harapkan ketika berdoa. Ketika hasilnya tidak kunjung tampak, hati kita akan mulai resah. Kok belum terkabul ya? Kemudian, keresahan itu akan menjadi jenuh. Hingga kita mulai meninggalkan doa.

Masalahnya, kita telah merubah harapan menjadi tuntutan. Doa yang awalnya menunjukkan harapan kepada Allah, kini menjadi tuntutan kepada Allah. Ketergesa-gesaan kita, bagaimanapun, telah menjadikan doa menjadi sarana untuk men-dikte Allah Swt. Terdapat satu hadis yang menyinggung hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad,

لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي

“Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.”

Jika kita mau melihat bagaimana doa bekerja, kita perlu merenung sejenak. Mari kita lihat orang-orang kinasih Allah Swt. Nabi Zakariyya As adalah seorang nabi dan rasul-Nya, beliau berdoa tanpa henti, tahun demi tahun, memohon agar dikaruniai keturunan. Nabi Ya’qūb As pun demikian, ketika mengadukan kesedihannya kepada Allah Swt tentang putranya, Nabi Yusuf As.

Mereka adalah orang-orang yang paling dicintai Allah. Mereka pula-lah orang-orang yang paling dekat dengan-Nya. Mereka masih terus berdoa dan mengulang-ulangnya. Lalu, apakah pantas jika kita hanya sesekali berdoa kemudian “memerintah” Allah untuk segera mengabulkannya?

Seorang salaf pernah berkata, “Aku sudah meminta kepada Allah satu hajat selama sepuluh tahun, tapi tidak juga diberi. Meski begitu, aku tidak berhenti, karena aku yakin Dia tetap mendengarnya.” Barangkali ini adalah bentuk keyakinan yang lebih tinggi dari sekadar menunggu hasil: keyakinan bahwa doa itu sendiri sudah menjadi jalan menuju Allah, terlepas dari cepat atau lambat jawabannya.

Masalahnya, kita sering menutup jalan doa dengan dosa-dosa kita sendiri. Ada yang berkata, “Jangan buru-buru menganggap doa tak terkabul, bisa jadi engkau yang menutup jalannya dengan maksiat.” Bukankah kita sering merasa doa kita mentok, padahal tangan dan lisan kita sendiri yang membuatnya terhalang?

Di titik ini, Imam al-Zabīdī dalam Ithāf al-Sādah al-Muttaqīn menerangkan bahwa doa yang diulang-ulang adalah bentuk pelatihan jiwa agar terbiasa berada di hadapan Allah. Konsistensi—meski dalam hal kecil—membuat hati menjadi lebih “akrab” dengan Allah. Sama halnya dengan amal kecil yang dilakukan terus-menerus, doa yang konsisten akan mengikat hati pada kebiasaan mengingat-Nya. Jika doa sekali-dua kali tidak terkabul lalu kita berhenti, ibarat tamu yang sudah sampai di depan pintu, lalu pulang begitu saja.

Beliau juga menyinggung sebuah rahasia, bahwa jiwa yang terbiasa berdoa akan mendapat suplai pertolongan dari Allah dalam bentuk ketenangan batin. Inilah yang tidak terlihat dari luar. Orang mungkin berkata, “doanya belum terkabul,” tapi sesungguhnya doa itu sudah mengubah orang yang berdoa. Hatinya jadi lebih lembut, lisannya lebih terjaga, dan jiwanya lebih sabar. Doa inilah yang menjaga hubungannya dengan Allah.

Maka, yang lebih penting bukanlah menghitung sudah berapa lama doa kita belum terjawab, tetapi bagaimana hati tetap lembut untuk terus meminta. Karena ada dua bahaya besar: berhenti berdoa, atau berdoa dengan hati yang kaku. Dua hal ini lebih berbahaya daripada keterlambatan jawaban.

Bagaimanapun, doa selalu punya value. Kalau terkabul, ia menjadi nikmat. Kalau ditunda, ia menjadi tabungan. Kalau diganti dengan sesuatu yang lebih baik, ia menjadi anugerah. Bahkan kalau permintaan kita sama sekali tidak terkabul, doa itu tetap dicatat sebagai ibadah, sebagai tanda kita pernah mengetuk pintu-Nya.

Barangkali ini yang membuat sebagian ulama justru lebih takut kehilangan semangat berdoa daripada kehilangan jawaban doa. Sebab Allah sudah berjanji, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan.” Janji-Nya tidak pernah meleset, hanya saja kita tidak tahu persis, seperti apa jawaban itu hadir nantinya.

Maka, setiap kali doa kita terasa menggantung, jangan buru-buru berkata, “percuma.” Katakanlah, “alhamdulillāh ‘alā kulli āl”—segala puji bagi Allah dalam segala keadaan. Karena bisa jadi, penundaan itu adalah bentuk rahmat-Nya, dan yang tidak kita dapatkan sekarang adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar.

Imam Ibn Atha‘illāh al-Sakandari berkata dalam Hikamnya,

لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ

“Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts