Mālik bin Dīnār adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa tabi’in. Suatu pagi ia keluar dari rumahnya, hendak menunaikan salat Subuh di masjid. Di tengah perjalanan, ia menemukan seorang lelaki tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan sangat buruk. Lelaki itu mabuk berat, tidak sadarkan diri, berdebu, dengan busa keluar dari mulutnya.
Mālik bin Dīnār pun berniat mengabaikannya dan melanjutkan perjalanannya ke masjid. Namun saat melewatinya, ia mendengar sesuatu yang mengejutkan. Dari mulut lelaki yang tidak sadarkan diri itu, keluar kalimat “Allāhu akbar” atau “Lā ilāha illallāh”. Meski akal sehatnya telah hilang karena mabuk, fitrah yang Allah tanamkan dalam dirinya masih tersisa. Fitrah itu membuat si mabuk ini masih ingat pada Allah, meski tubuhnya dalam keadaan hina.
Akhirnya, Mālik bin Dīnār berhenti. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, membersihkan mulut lelaki itu, lalu menegakkan tubuhnya agar bersandar pada tembok. Tentu saja, ia melakukan semua itu bukan karena kasihan pada si lelaki, tapi karena menghormati nama Allah yang keluar dari mulut itu. Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanannya ke masjid.
Usai salat Subuh, Mālik bin Dīnār kembali melewati tempat yang sama. Ternyata si lelaki itu masih dalam posisi yang sama. Mālik pun hanya melewatinya dan pulang ke rumah. Ia melakukan kegiatan rutinnya setelah salat Subuh, membaca wirid al-Qur’an, berdzikir, lalu tidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara, “Wahai Mālik bin Dīnār, engkau telah membersihkan mulutnya karena Kami, maka Kami bersihkan hatinya untukmu.”
Mālik pun terbangun dengan terkejut. Ia segera pergi untuk mencari lelaki itu, tapi sudah tidak menemukannya. Lelaki itu sudah tidak ada disana lagi. Hari demi hari kemudian berlalu, dan Mālik pun telah melupakan kejadian ini.
Dua puluh tahun kemudian, Mālik bin Dīnār menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Suatu sore, setelah salat Maghrib, ia sedang melakukan tawaf di sekitar Ka’bah. Di tengah kegiatan itu, ia mendengar seorang lelaki yang berdoa dengan ke-khusyuk-an luar biasa. Doa itu begitu indah, penuh penghayatan, dan menggambarkan keagungan Allah dengan cara yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Mālik terpesona. Ia bergumam dalam hati, “Ini pasti orang saleh yang telah dibukakan pintu hidayah oleh Allah. Aku akan berjalan mengikutinya, berdoa bersamanya, semoga Allah menerima amalanku bersama orang ini.” Ia mengikuti orang itu begitu saja, tanpa mengetahui siapa dia sebenarnya.
Ia pun terus berjalan di belakang lelaki itu, mengaminkan setiap doa yang dilantunkannya. Setelah beberapa putaran, lelaki itu menyadari ada seseorang yang terus mengikutinya. Ia pun menoleh.
Mālik bin Dīnār langsung mengenalinya. Lelaki itu adalah pemabuk yang ditemukannya dua puluh tahun lalu, yang tergeletak di pinggir jalan dengan busa di mulutnya. Lelaki yang mulutnya ia bersihkan karena menghormati nama Allah yang keluar dari bibirnya.
Mālik tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia segera memeluk lelaki itu, mencium keningnya, lalu bertanya, “Apa yang telah Allah lakukan padamu, wahai saudaraku? Sudah dua puluh tahun aku tidak melihatmu.”
Lelaki itu menjawab, “Wahai Mālik bin Dīnār, sesungguhnya Dzat yang telah membimbingku telah memberitahumu tentang keadaanku pada pagi hari setelah kejadian itu.”
Ternyata, lelaki itu benar-benar berubah total. Setelah insiden itu, Allah membuka hatinya, membimbingnya pada jalan kebaikan. Ia kemudian bergabung dengan majelis ilmu Mālik bin Dīnār, belajar agama dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya menjadi salah seorang ulama yang diperhitungkan.
Kisah ini menunjukkan pada kita sesuatu yang sangat penting, bahwa penghormatan terhadap nama Allah, bahkan dalam bentuk sekecil apapun, tidak akan sia-sia. Mālik bin Dīnār tidak membersihkan mulut lelaki itu karena ingin dipuji atau mengharap balasan. Ia melakukannya semata-mata karena menghormati nama Allah yang keluar dari mulut tersebut.
Allah pun membalas dengan cara yang tidak pernah ia sangka. Bukan hanya membersihkan hati lelaki itu, tapi juga menjadikannya seorang hamba yang saleh dan berilmu. Dan Mālik sendiri mendapat kebahagiaan luar biasa menyaksikan buah dari perbuatan kecilnya dua puluh tahun sebelumnya.
Dari sini kita bisa belajar, betapa pentingnya menjaga kehormatan nama Allah dalam setiap kondisi. Ketika kita bersiwak (membersihkan mulut) sebelum salat, itu bukan sekadar menjaga kebersihan mulut. Itu adalah bentuk penghormatan kepada Allah yang akan kita ajak bermunajat. Ketika kita membaca al-Qur’an dengan mulut yang bersih, itu adalah wujud ta‘żīm kita pada kalam-Nya.
Penghormatan ini bukan melulu soal ritual saja, tapi tentang bagaimana kita menempatkan Allah dalam setiap aspek hidup kita. Mālik bin Dīnār menunjukkan bahwa bahkan dalam situasi yang paling tidak terduga sekalipun, menghormati nama Allah tetap harus dijaga.
Maka, jangan sekali-kali kita meremehkan perbuatan baik sekecil apapun. Kita tidak pernah tahu bagaimana Allah akan membalas kebaikan kita. Mungkin tidak langsung hari ini atau besok, tapi suatu saat, di waktu yang tidak kita sangka, balasan itu akan datang dengan cara yang jauh lebih indah dari yang kita bayangkan.
Tabik,
Ibnu
* Disarikan dari kajian Dr. Mabrūk Zayd al-Khayr

Tinggalkan komentar