Setiap manusia butuh sosok teladan. Kita bisa melihat seorang yang sedang merintis usaha mencari figur yang bisa dia contoh dalam menjalankan bisnis. Pun dengan mahasiswa semester akhir yang mencari role model untuk mereka praktikkan saat memasuki dunia kerja. Bahkan, anak-anak pun secara natural meniru orang-orang di sekitarnya.
Kebutuhan akan teladan ini universal. Masalahnya, tidak semua teladan cocok untuk setiap situasi. Sosok yang sukses jadi pengusaha belum tentu bisa jadi contoh yang tepat untuk seorang pegawai negeri. Cara hidup selebritas mungkin menarik, tapi tidak realistis untuk diterapkan oleh orang biasa.
Lalu, adakah sosok yang bisa menjadi teladan universal? Sosok yang dapat dicontoh oleh siapa saja, dalam situasi apa saja?
Siapa lagi kalau bukan baginda Nabi Muhammad Saw. Menurut ‘Abd al-Qādir Muhammad al-Mahdī, dalam karyanya al-Uswah al-Kāmilah, hidup Nabi Muhammad Saw memiliki karakteristik khusus, yaitu beliau mengalami hampir semua kondisi yang mungkin dialami manusia.
Nabi Muhammad Saw pernah jadi pedagang sukses yang berkeliling antara Hijaz dan Syam. Beliau juga pernah mengalami kemiskinan parah hingga terasing di Syi’ib Abi Thalib. Ketika hijrah ke Madinah saja, beliau tidak membawa harta apapun.
Beliau pernah menjadi pemimpin yang menguasai jazirah Arab, tapi juga pernah menjadi rakyat biasa di bawah kontrol kaum musyrik di Makkah. Nabi Muhammad Saw mengalami kemenangan telak di Badr dan Hunain, sekaligus juga merasakan kekalahan pahitnya di Uhud.
Sebagai pendidik, beliau mengajar para sahabat di Shuffah Masjid. Sebagai murid, beliau menerima pelajaran dari Jibril. Nabi Muhammad Saw juga pernah menjadi yatim piatu yang kehilangan ayahnya sejak dalam kandungan, dan ibunya pun wafat ketika beliau baru berusia enam tahun.
Rangkaian pengalaman hidup yang beragam ini menjadikan sosok Nabi kita sebagai teladan yang lengkap. Siapa pun kita, dalam kondisi apa pun, ada bagian dari hidup Nabi yang bisa kita jadikan acuan.
Maka benarlah firman Allah Swt, ketika menjadikannya sebagai figur uswah al-hasanah,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzāb [33]: 21)
Syaikh Ibn ‘Āsyūr, ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa objek keteladanan itu adalah diri Rasulullah Saw secara menyeluruh, tanpa pembatasan pada sifat tertentu, agar mencakup keteladanan pada ucapan-ucapan beliau—dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan—serta perbuatan-perbuatan beliau seperti kesabaran, keberanian, dan keteguhan.
Artinya, beliau memang telah dipersiapkan oleh Allah Swt sebagai figur utama yang cocok untuk diteladani seluruh umatnya. Karena kita adalah umatnya, maka kita perlu melihat secara utuh sosok beliau. Dalam ayat diatas itu telah ditunjukkan keutamaan meneladani Nabi Saw. Beliau adalah suri teladan yang paling sempurna, tanpa keraguan.
Lalu, bukankah sosok selain Nabi Saw juga bisa dijadikan teladan? Iya, betul. Tapi, tidak ada yang benar-benar bisa dijadikan teladan universal yang cocok dalam setiap kondisi. Menurut al-Mahdī, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa menjadi teladan universal:
Pertama, historis. Riwayat hidupnya harus didukung oleh bukti sejarah yang kuat dan bisa diverifikasi. Bukan berdasarkan dongeng atau legenda belaka.
Kedua, komprehensif. Kehidupannya harus mencakup berbagai aspek dan fase hidup manusia. Sehingga, seseorang yang sukses dalam satu bidang saja belum pantas untuk dijadikan sosok teladan universal.
Ketiga, lengkap. Data tentang hidupnya harus utuh, tidak ada celah atau periode yang hilang. Kita harus bisa melihat bagaimana dia bertindak dari masa kanak-kanak hingga akhir hayat.
Keempat, praktis. Artinya, apa yang diajarkannya sudah dipraktikkan dalam hidupnya sendiri. Jelas, tidak ada gap antara ucapan dan tindakan.
Keempat syarat ini penting karena banyak sosok yang hanya memenuhi sebagian saja. Mungkin ada seseorang yang terkenal karena pencapaian di bidang tertentu, tapi kehidupan pribadinya berantakan. Ada juga yang mengajarkan hal-hal mulia, tapi ternyata tidak konsisten mengamalkannya.
Kita sendiri bisa melihat fleksibilitas dalam kehidupan baginda Nabi Saw. Beliau bisa menjadi contoh bagi orang kaya maupun miskin, pemimpin maupun rakyat biasa, hingga bagaimana bersikap di masa damai atau penuh konflik.
Ketika beliau kaya sebagai saudagar, rupanya beliau bersikap sederhana dan dermawan. Saat miskin pun, beliau sabar. Ketika menjadi figur pemimpin, beliau berlaku adil dan tidak sewenang-wenang, sama sekali. Kita bisa melihat bagaimana sosok baginda Nabi Saw secara utuh, dalam berbagai periode hidupnya, melalui sirah-nya.
Fleksibilitas ini menunjukkan kemampuan cara beliau mengekspresikan nilai-nilai yang digenggamnya, sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi. Adakah sosok lain yang sekomplit ini, sejak dulu hingga sekarang?
Hari ini, kita terpapar berbagai model kehidupan via internet dan media sosial. Influencer, motivator, dan lainnya. Sebagian punya gaya hidup mewah, seolah tidak pernah susah. Ada lagi yang hidupnya selalu optimis, seakan-akan ujian tidak pernah menghampirinya. Mereka tampak sempurna.
Sayangnya, kita tidak pernah tahu secara faktual apa yang benar-benar terjadi di balik akun-akun yang tampak sempurna itu. Apa yang tersaji di profil mereka, tak lain hanyalah satu sisi hidupnya. Kita jarang bisa tahu bagaimana mereka bersikap ketika sedang mendapat masalah, kegagalan, dan kesulitan.
Jika kita tilik kehidupan baginda Nabi Saw, tentu total berbeda dengan figur-figur idola masa kini. Kehidupan beliau terekam lengkap, termasuk momen-momen “lemahnya” sebagai manusia biasa. Kita tahu bagaimana beliau bersedih ketika kehilangan putranya, istrinya, dan pamannya. Kita pun juga tahu dengan pasti bagaimana beliau marah dan kecewa dengan ketidak adilan, dan seterusnya.
Kelengkapan data inilah yang membuat baginda Nabi Saw relatable dengan hidup kita. Beliau sosok yang sempurna, tapi juga punya sisi-sisi kemanusiaan seperti kita. Beliau adalah gambaran seorang manusia yang telah sampai pada puncak kemuliaan akhlak, karena anugerah Allah, perjuangannya, dan konsistensinya. Makanya, kita perlu benar-benar menjadikan beliau sebagai suri tauladan utama.
Menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai teladan, bukan berarti meniru setiap detail kehidupannya secara literal. Ada beberapa hal yang perlu dikontekstualisasikan sesuai keadaan zaman kita. Namun, kita perlu mengambil prinsip dan nilai-nilai yang telah beliau terapkan dan ajarkan.
Misalnya, dalam berbisnis, kita bisa mencontoh integritas beliau yang jujur dan amanah. Dalam berumah tangga, kita bisa belajar dari cara beliau menghargai dan memperlakukan istri-istrinya. Dalam memimpin, kita bisa meniru gaya beliau yang kolaboratif dan sering melibatkan orang-orang di bawahnya.
Intinya, kita perlu meniru beliau dan lebih banyak mengadopsi nilai-nilai fundamental yang menjadi karakter beliau: kejujuran, keadilan, kasih sayang, keteguhan, kerendahan hati, dan seterusnya. Inilah nabi kita, yang cara hidupnya terbukti bisa ditiru oleh siapa saja sejak 1400 tahun yang lalu. Cara hidup yang relevan untuk semua kalangan, dan dapat dipraktikkan dalam kondisi apapun.
Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alayh
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar