Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Tentang Neraka, Keadilan, dan Keterbatasan Kita

Ada satu pertanyaan yang sering terdengar di telinga kita, “apakah semua orang kafir masuk neraka?” Pertanyaan ini biasanya muncul dengan latar kegelisahan yang sama, terutama ketika menyangkut orang-orang yang secara lahiriah terlihat baik, atau bahkan berjasa besar kepada Islam.

Contohnya Abu Thalib, paman Nabi Muhammad Saw yang telah melindungi dan membantu beliau begitu banyak. Mengapa ia tetap masuk neraka meski jasanya begitu besar? Bukankah ini tidak adil? Oke, mari kita coba membahasnya.

Allah Swt telah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa siapa saja yang telah menerima risalah Islam namun menolaknya, maka ia berada dalam ancaman azab neraka. Risalah di sini maksudnya adalah pesan paling mendasar gama ini, bahwa Allah Swt telah mengutus seorang rasul bernama Muhammad Saw dengan sebuah kitab, agama ini bernama Islam, dan ada hari kebangkitan.

Sesederhana itu. Tidak perlu penjelasan panjang lebar yang ndakik-ndakik (rumit sampai tidak jelas). Maka cukup ketika telah sampai pesan itu, beban tanggung jawabnya telah berpindah kepada siapapun yang mendengarnya. Misalnya seperti ketika kita memperingatkan seseorang bahwa ada api yang akan membakar di lantai bawah. Kita tidak perlu menjelaskan detail bagaimana apinya, cukup sampaikan peringatannya saja.

Setelah pesan tersampaikan, keputusan akhir ada pada mereka sendiri. Apakah mereka mau mencari tahu lebih lanjut atau tidak, itu terserah mereka. Tapi ancaman kebakaran itu sudah berlaku.

Sebaliknya, mereka yang sama sekali tidak pernah menerima pesan Islam, atau menerima pesan yang sangat terdistorsi, tidak akan langsung masuk neraka. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan menyiksa (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Ayat ini jelas. Tidak ada hukuman tanpa ada penyampaian pesan terlebih dahulu. Kalau pesannya tidak sampai, atau sampainya dalam bentuk yang salah total, maka mereka tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Sebenarnya ada hadis yang menyebutkan bahwa mereka akan “diuji” di hari kiamat. Tapi para ulama lebih memilih untuk berpegang pada ayat al-Qur’an ini karena al-Qur’an sendiri sudah menegaskan bahwa dunia ini adalah tempat ujian, bukan akhirat. Jadi ketika ada hadis yang tampak bertentangan dengan ayat, para ulama memilih untuk menangguhkan pemahamannya.

Sekarang, banyak orang merasa tidak nyaman dengan konsep ini. “Kok bisa orang baik masuk neraka?” atau “Kok Abu Thalib yang begitu berjasa malah masuk neraka?”

Pertanyaan ini sebenarnya keluar dari perasaan, bukan dari pengetahuan. Dan di sinilah letak masalahnya. Mari kita coba kita balik pertanyaannya: kalau kita diberi wewenang untuk menentukan siapa masuk surga dan siapa masuk neraka, apakah kita lebih adil dari Allah? Kalau jawaban kita “ya, saya akan memasukkan semua orang ke surga,” maka pertanyaan berikutnya adalah, berdasarkan pengetahuan apa?

Kita ini hanya tahu kulitnya saja. Kita sebatas tahu apa yang terlihat dari luar. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati seseorang. Kita tidak tahu motif tersembunyi mereka, kita tidak tahu apa yang mereka lakukan saat sendirian, kita pun tidak tahu pergumulan batin mereka.

Bahkan tentang surga dan neraka saja, kita percaya karena Allah Swt dan rasul-Nya yang memberitahu. Kita tidak sampai ke sana dengan logika atau eksperimen. Kalau begitu, mengapa kita percaya pada informasi tentang surga dan neraka, tapi tidak percaya pada informasi-Nya bahwa Dialah Sang Maha Mengetahui dan Sang Maha Adil?

Abu Thalib memang telah banyak membantu Nabi Muhammad Saw. Tapi, apa yang kita tahu tentang Abu Thalib? Hanya yang lahiriah saja. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. Kita tidak tahu pergumulannya dengan keimanan. Kita tidak tahu apakah ia benar-benar tidak percaya, atau hanya takut kehilangan status sosial, atau ada alasan lain yang lebih dalam.

Pengetahuan kita sangat terbatas. Maka seharusnya kita mendiskualifikasi diri sendiri dari membuat penilaian. Bagaimanapun, kita tidak punya cukup pengetahuan untuk menilai keputusan Allah Swt.

Maka yang bisa kita lakukan hanyalah berpegang pada prinsip bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Penyayang. Jika Dia menetapkan ancaman neraka bagi orang yang menolak risalah setelah sampai kepadanya, di situ pasti ada hikmah yang tidak bisa kita pahami sepenuhnya.

Jadi, apakah semua orang kafir masuk neraka? Sebagaimana di atas, jawabannya diperinci. Jika ia telah menerima pesan Islam dengan jelas dan menolaknya, ya. Sedangkan jika ia tidak pernah menerima pesan Islam, atau menerima pesan Islam yang sangat terdistorsi, maka tidak.

Apakah ini adil? Pertanyaan ini sebenarnya diluar tanggungan kita. Kita tidak punya cukup pengetahuan untuk menilai. Yang kita tahu adalah Allah Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia tahu yang tidak kita tahu. Dia melihat yang tidak kita lihat.

Maka daripada mempertanyakan keadilan Allah Swt yang sudah pasti, lebih baik kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan seperti menyampaikan pesan Islam dengan baik, memperbaiki diri sendiri, dan memasrahkan urusan penilaian kepada Dzat yang memang berhak menilai. Akhirnya, kita hanyalah seorang hamba yang penuh keterbatasan. Kita hanya tahu sedikit, sementara Allah Swt mengetahui segalanya. Lalu, masih pantaskah kita “memprotes” ketetapan-Nya?

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts