Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Progresi Amal Saleh

Ada yang menarik dari cara Rasulullah memberikan nasihat kepada para sahabatnya. Beliau sangat jarang—atau tidak pernah—memberikan satu paket nasihat yang sama untuk semua orang. Setiap orang berkesempatan mendapat nasihat yang berbeda, sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.

Kita bisa melihat ini dari hadis Abu Hurairah ra yang masyhur, bahwa beliau berkata:

Kekasihku ﷺ mewasiatkan kepadaku tiga perkara: berpuasa tiga hari setiap bulan, salat dua rakaat ḍuḥā, dan agar aku berwitir sebelum tidur.” (Muttafaq ‘alayh)

atau dalam versi riwayat lain dari Ibn Khuzaymah, disebutkan:

“Kekasihku ﷺ mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak akan pernah kutinggalkan: agar aku tidak tidur kecuali setelah berwitir, agar aku tidak meninggalkan dua rakaat salat ḍuḥā, karena itu adalah salat orang-orang yang kembali kepada Allah (ṣalāt al-awwābīn), dan agar aku (tidak meninggalkan) berpuasa tiga hari setiap bulan.” (HR. Ibn Khuzaymah)

Tiga hal praktis ini, khusus dan spesifik diwasiatkan kepada Abu Hurairah ra.

Tapi coba kita lihat sahabat lainnya. Ada yang diminta untuk berbakti kepada orang tua ketika meminta nasihat. Ada yang diperintahkan untuk shalat seperti orang yang akan berpamitan (mati) dan tidak meletakkan harapan pada manusia. Ada juga misalnya, Abdullah bin Umar, yang mendapat wasiat khusus, “Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah (Ibn ‘Umar) seandainya ia mau melaksanakan shalat malam.

Ketika menjelaskan hadis tentang wasiat Rasulullah kepada Abu Hurairah ra dengan tiga amalan kebajikan, Imam Ibn Abī Jamrah, dalam Bahjah al-Nufūs menyatakan bahwa wasiat itu paling sesuai dengan keadaan Abu Hurairah ra. Abu Hurairah adalah orang yang mencurahkan diri sepenuhnya untuk beribadah, dan apa yang diwasiatkan kepadanya adalah syi‘ar para ahli ibadah sepanjang masa. Maka beliau memilihkan baginya bentuk ibadah paling ringan, agar ia tidak merasa terbebani untuk melakukan seluruh amalan yang diperintahkan, sebab bisa jadi hal itu memberatkannya.

Padahal, menurut Imam Ibn Abī Jamrah, seandainya Nabi mewasiatkan lebih banyak, niscaya Abu Hurairah akan berkomitmen sepenuhnya sebagaimana ia menepati wasiat ini dengan redaksi dari Ibn Khuzaymah di atas, “Kekasihku ﷺ mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak akan pernah kutinggalkan.”

Maka dengan wasiat itu beliau ﷺ menunjukkan jenis amal yang paling sesuai baginya, dan membiarkannya beramal sesuai semangat dan kemampuannya. Nabi ﷺ hanya menetapkan batas minimal dan tidak menyebut batas maksimal. Seolah Nabi menginstruksikan, “ini batas minimumnya, sisanya terserah kamu.” Kenapa? Karena Nabi kenal betul dengan para sahabatnya.

Pola yang sama tidak berlaku untuk yang lain. Beda orang, beda kondisi, beda juga nasihatnya. Inilah yang membawa kita pada satu pertanyaan tentang apa yang paling dekat dengan kondisi kita sekarang?

Imam Ibn Abī Jamrah pun menyebutkan bahwa tidak semua orang cocok dengan satu jenis amalan. Ada yang lebih baik fokus pada ibadah. Ada yang justru lebih tepat mendalami ilmu. Ada yang perlu aktif melakukan perjalanan atau berjihad. Semuanya tergantung pada potensi dan kondisi masing-masing.

Bahkan Imam Ibn Abī Jamrah mengutarakan seandainya seseorang punya potensi untuk mendalami ilmu tapi kok malah sibuk dengan ibadah sunah saja, itu justru rugi. Apalagi di zaman ketika bid’ah mulai menyebar, mendalami ilmu bisa jadi kewajiban individual bagi yang mampu.

Jadi ilmu, dalam konteks tertentu, justru bisa menjadi prioritas utama. Bukan berarti ibadah tidak penting, tapi karena kondisilah menuntut demikian. Sebaliknya, kalau seseorang memang tidak punya kapasitas untuk mendalami ilmu, ya sudah, fokus saja pada ibadah. Paling tidak dia bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri, dan orang lain bisa dapat manfaat dari doanya.

Ini berlaku dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu formula yang cocok untuk semua orang. Sehingga yang terpenting adalah mengenali diri sendiri. Kita ini siapa, kondisi kita seperti apa, dan apa yang paling dekat dengan kemampuan kita. Biar bagaimanapun, masing-masing amal kebajikan memiliki keutamaan yang berbeda tergantung keadaan pelakunya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn Abī Jamrah.

Beliau juga berpesan bahwa hendaknya seseorang memulai dengan amal yang paling sesuai baginya, dan mendahulukannya (satu amal tertentu) atas yang lain. Keutamaan amal tidak dilihat semata dari jenis amalnya, tetapi dari siapa yang melakukannya. Sebab Nabi ﷺ tidak pernah membatasi wasiatnya hanya pada satu amal untuk semua orang. Beliau ﷺ memilihkan bagi tiap-tiap orang amal yang paling sesuai dengannya.

Kembali pada “standar minimal” dahulu, baru kemudian dikembangkan. Jadi, diharapkan akan muncul progresi untuk menambah bobot (kuantitas maupun kualitas) amal. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Barang siapa berdiri (salat malam) dengan dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah, maka itu akan mencukupinya.” (HR. Bukhari)

Kemudian beliau ﷺ mendorong penambahan dan menyebut pahala yang lebih besar, hingga bersabda bahwa:

“Barangsiapa bangun (salat malam) dan membaca sepuluh ayat, maka dia tidak dicatat sebagai orang-orang yang lalai. Barangsiapa bangun (salat malam) dengan membaca seratus ayat, maka dia akan dicatat sebagai orang-orang yang tunduk dan patuh, dan barangsiapa bangun (salat malam) dengan membaca seribu ayat, maka dia akan dicatat sebagai orang-orang yang dermawan.” (HR. Abu Dawud)

Beliau juga menyebut keutamaan besar bagi salat pada sepertiga malam terakhir, dan beliau sendiri ﷺ salat hingga kedua kakinya bengkak.

Demikian pula dalam hal salat ḍuḥā beliau berwasiat dua rakaat, sementara beliau sendiri salat delapan rakaat, lalu dua belas rakaat, dan bersabda:

“Barang siapa salat ḍuḥā dua belas rakaat, dibangunkan untuknya istana di surga.” (HR. Tirmidzi)

Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bagaimana progresi amal saleh itu berlaku secara natural. Artinya, diharapkan adanya dorongan untuk terus mengembangkan amal saleh, yang muncul murni lewat diri sendiri. Semua itu merupakan bentuk kelembutan beliau ﷺ terhadap umatnya agar mereka tidak merasa terbebani oleh wasiat beliau, sekaligus dorongan untuk memperbanyak amal dengan menyebutkan keutamaan dan pahala tanpa mewajibkan.

Rasulullah ﷺ tidak pernah memaksa semua orang mengikuti satu jalur yang sama. Beliau memilihkan untuk setiap orang apa yang paling sesuai dengan kondisinya. Sekali lagi, seolah beliau ﷺ memberi panduan minimal, lalu membiarkan masing-masing berkembang sesuai kapasitasnya.

Nah, kita perlu belajar dari pola ini. Kenapa? Agar kita tidak terlalu merasa terbebani ketika melihat orang lain melakukan hal-hal yang lebih baik dari kita. Walaupun membandingkan amal saleh pada yang lebih baik itu bagus, tapi ada kalanya itu justru membebani kita. Maka jika mulai terbebani, kita boleh kok berhenti merasa kurang karena tidak seperti si anu atau si itu. Fokus saja pada apa yang dekat dengan kondisi kita. Mulai dari yang kecil, yang kita mampu, lalu kembangkan dari sana.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts