Secangkir Makna

Jika kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah.


Salat Berdiri di Usia Seratus Tahun

Imam al-Sya‘rani pernah menceritakan sebuah pemandangan yang sulit dilupakan tentang gurunya, Syaikh al-Islam Zakariyya al-Anshari, yang usianya telah sampai seratus tahun. Ketika itu tubuhnya sudah renta, sakit pun datang silih berganti. Namun syaikh tua itu masih kukuh berdiri dalam salat sunah. Badannya limbung ke kanan dan ke kiri, hampir-hampir tidak sanggup menjaga keseimbangan. Tapi ia tetap memaksakan diri untuk berdiri.

Imam al-Sya‘rani yang menyaksikannya pun merasa kasihan. Ia mencoba untuk “menegur” gurunya dengan lembut, “Wahai guru, Allah tidak mewajibkan orang seperti anda salat sambil berdiri.” Maksudnya jelas, Syaikh Zakariyya boleh salat sambil duduk saja. Usianya sudah sangat tua, kondisi tubuhnya lemah. Secara syariat, ia mendapat keringanan. Lagipula, ini salat sunnah yang sebenarnya boleh dilaksanakan dengan duduk.

Jawaban Syaikh al-Islam terhadap teguran muridnya itu justru mengejutkan, “Wahai anakku, jiwa (nafsu) manusia itu pada dasarnya malas. Aku takut jika aku kalah darinya, dan akhirnya hidupku berakhir dalam keadaan seperti itu.”

Mungkin kita merasa janggal dengan jawaban ini. Bukankah rukhsah itu rahmat? Bukankah Allah memberi kemudahan pada orang yang sakit dan uzur? Kenapa Syaikh Zakariyya justru menolak keringanan yang jelas-jelas diperbolehkan?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan kebingungan itu, kita perlu tahu bahwa Syaikh Zakariyya al-Anshari ini digelari sebagai Syaikh al-Islam. Beliau adalah gurunya para ulama terkemuka di zamannya. Selain itu, beliau juga merupakan murid dari ulama-ulama luar biasa. Beliau sangat ahli dalam berbagai macam cabang keilmuan agama. Artinya, beliau tentu tahu soal rukhsah itu. Tapi mengapa beliau memilih bersikeras untuk tetap berdiri?

Rupanya Syaikh Zakariyya paham betul bahwa jiwa (nafsu) manusia cenderung suka mencari jalan paling mudah. Begitu diberi celah untuk bermalas-malasan, nafsu akan terus menuntut lebih banyak lagi. Awalnya memang keringanan karena sakit, tapi nanti bisa berubah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Ketakutan sang Syaikh mungkin berpusat pada satu hal, yaitu perihal bagaimana beliau kelak akan mengakhiri hidupnya. Beliau tidak ingin menutup usia dalam kondisi kalah terhadap kemalasan. Beliau ingin wafat dalam keadaan berjuang melawan hawa nafsu, bukan justru menyerah padanya. Meskipun tubuh beliau sudah tidak kuat, namun semangatnya masih menyala. Beliau memilih bertahan di posisi yang lebih berat karena beliau tahu, begitu beliau menurunkan standar, akan sulit untuk mengembalikannya lagi.

Sepotong kisah ini mengajarkan kita tentang konsistensi mengabdi pada Allah yang mungkin sangat jarang kita temukan. Banyak dari kita yang justru terlalu cepat mengambil keringanan. Begitu merasa sedikit lelah, kita langsung mencari alasan untuk tidak melakukan yang terbaik. Meskipun keringanan dalam syariat itu dibenarkan jika sesuai dengan terms and conditions-nya, tapi nafsu tidak pernah mengenal batas. Ia akan berpotensi terus meminta lebih dan lebih.

Syaikh al-Islam Zakariyya seolah mengajarkan pada muridnya (Imam al-Sya‘rani) dan kita untuk mawas terhadap diri sendiri. Tentu ini bukan sikap paranoia, namun bentuk kehati-hatian perihal menjaga kualitas ibadah hingga akhir hayat. Seakan-akan Syaikh al-Islam Zakariyya al-Anshari tidak mau hidupnya berakhir dengan catatan “dulunya rajin, sekarang sudah tidak lagi.” Beliau tampak sangat ingin konsisten sampai hembusan napas terakhirnya, bahkan jika itu berarti harus berdiri limbung dalam salat di usia seratus tahun. Betapa indahnya.

Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Subscribe Newsletter

Latest Posts