Suatu ketika menjelang subuh, seorang pencuri masuk ke rumah Malik bin Dinar. Si pencuri menggeledah seluruh sudut rumah, mencari barang berharga yang bisa dibawa. Namun rupanya tidak ada satu pun barang berharga yang bisa ditemukannya. Rumah itu kosong melompong, tidak ada apa-apa disana!
Kecewa dengan usahanya yang berujung sia-sia, si maling itu pun ingin segera pergi dari rumah itu. Tanpa dinyana, Malik bin Dinar muncul dan menyapanya, “Assalamualaikum.”
Si pencuri itu kaget, dan entah bagaimana, ia refleks menjawab “waalaikumsalam.”
Sejurus kemudian Malik berkata, “kamu tidak mendapatkan apapun dari harta dunia di rumah ini. Maukah kamu mengambil sesuatu untuk akhiratmu?”
Karena sudah kadung ketahuan, si pencuri langsung saja menjawab “mau.”
Malik pun mengajaknya untuk berwudhu dari bejana air yang ada, lalu mendirikan salat dua rakaat bersama. Setelah selesai, si pencuri bertanya, “bolehkah aku duduk di sini sampai subuh?”
Ketika subuh datang, Malik keluar menuju masjid, sahabat-sahabatnya bertanya, “Siapa orang yang bersamamu itu?”
“Ia datang untuk mencuri kami, tetapi justru kami lah yang mencurinya,” terang Malik.
Kisah ini tercatat dalam Tārīkh al-Islām karya Imam al-Dzahabi. Inilah kisah yang memberikan pelajaran mendalam tentang bagaimana merespons kejahatan dengan kebaikan. Ketika menangkap basah si maling itu, rupanya Malik mengambil tindakan yang tidak gegabah. Ia tidak marah, tidak memaki, apalagi melaporkan si pencuri. Ia justru memberinya sesuatu yang jauh lebih berharga dari harta dunia: kesempatan untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Entah bagaimana pula Malik bin Dinar bisa segera punya pikiran seperti itu. Mungkin Malik merasa kasihan ketika melihat si pencuri gagal mendapatkan barang jarahan di rumahnya. Sehingga ia pun terpaksa menawarkan “jarahan” yang lebih tinggi nilainya, taubat dan salat. Setidaknya, ia tidak pulang dengan tangan hampa!
Menariknya lagi, Malik tidak banyak fa-fi-fu ceramah panjang lebar. Ia mengajak salat sekaligus menyediakan fasilitas untuk mendirikan salat itu. Bahkan, ia juga menemani dan membersamainya. Inilah satu hal penting yang mungkin bisa kita tiru. Ketika kita mendapati keburukan orang lain, perbaiki keburukan itu dengan mengajaknya melakukan kebaikan bersama-sama. Tentu saja, ini hanya berlaku pada keburukan yang tidak berpotensi membahayakan diri kita.
Ala kulli hal, balaslah keburukan dengan kebaikan. Mari kita ingat-ingat firman Allah Swt,
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia.” (QS. Fuṣṣilat [41]: 34)
Allāhu a‘lam
Tabik,
Ibnu

Tinggalkan komentar