Sebagai seorang yang memiliki iman dan mengaku muslim, kita seharusnya menjadi umat paling bahagia di dunia ini. Setidaknya atas dasar keimanan itu, kita memiliki gusti Allah dan kanjeng nabi Muhammad di dalam hati kita. Bukan main-main, nikmat mana yang lebih istimewa dari ini?
Melihat sekitar, baik di dunia nyata maupun maya, beberapa gambaran laku saudara kita akhir-akhir ini sangat menunjukkan kesan tidak bahagia dalam menjalani tugas hidupnya, ada yang selalu terlihat susah, ada yang setiap hari bingung, dan tidak sedikit juga yang kerjaannya marah-marah lho. Beberapa gambaran laku ini tentu saja sangat berbalik dengan definisi kata bahagia. Jadi, apa yang bisa membuat orang-orang itu menampilkan aura bahagia? Kalo pilihan politiknya menang? Sepertinya iya.

Dalam surah Yunus ayat 57-58 disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (58
57. Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
58. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Di ayat pertama Gusti Allah mengajak dialog umat manusia dengan memberitahukan informasi tentang apa yang telah dikirimkannya kepada umat manusia, yaitu Al-Qur’an yang didalamnya terdapat 4 intisari, mauizhah, syifa’, huda, dan rahmat. Dalam tafsirnya, Al-Qurtuby memberi sedikit informasi mengenai 4 hal ini,

Terjemah bebasnya:
“Wahai manusia! Sungguh telah datang mauizhah, yaitu pelajaran/nasehat dari Tuhanmu (Al-Qur’an) yang didalamnya terdapat pelajaran dan hikmah dari kisah umat terdahulu. Di dalamnya juga terdapat syifa’/obat untuk segala penyakit yang ada di dalam dada, seperti keraguan, kemunafikan, perseteruan dan perpecahan. Di dalamnya juga ada huda, yaitu petunjuk bagi yang mengikutinya, serta rahmat, yang dimaknai sebagai nikmat khusus bagi orang beriman, karena mereka mendapat kenikmatan itu karena imannya. Sedangkan yang tidak beriman tidak akan mengambil pelajaran, obat, petunjuk, dan rahmat ini dari al qur’an.“
Pelajaran sederhananya, ketika seorang mukmin mau mengambil hikmah yang terkandung dalam kitabullah, pelajaran-pelajaran itu akan menjadi obat dan jalan keluar bagi segala sumpeg yang ada di dalam dada, setiap orang yang bersih dari penyakit hati, maka bashirah-nya akan merespon pada petunjuk yang diberikan Allah, yang dengan mengikuti petunjuk itu, Allah akan memberikan rahmat baginya.
Selanjutnya di ayat kedua lebih ditegaskan melalui pemberian mandat kepada kanjeng nabi Muhammad untuk menyeru kepada umatnya agar berbahagia, karena adanya fadhal dan rahmat Allah. Dalam kitab yang sama, Al-Qurtuby menjelaskan lagi tentang maksud fadhal dan rahmat Allah. Dikutip dari pendapat Abu Said Al-Khudriy dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa yang dimaksud fadhal adalah Al-Qur’an, dan rahmat yaitu agama Islam.
Kebahagiaan munculnya dari dalam hati, dengan menyadari apa yang membuatnya bahagia, sehingga pada puncaknya akan tampak aura kebahagiaan dalam hidup kita. Walaupun, ada bahagia yang memang Tuhan tidak menghendaki, sebagaimana terdapat di Al-Qur’an surah Al-Qasas, “Laa tafrah, innallaha laa yuhibbul farihin”. Tapi dengan nikmat Islam serta Al-Quran yang kita miliki, kebahagiaan macam apa lagi yang bisa melampauinya? Westo, Ndak ada! Maka itu, ayat ini ditutup dengan statemen bahwa apapun yang kita kumpulkan di dunia, baik harta, jabatan, dan lainnya tidak akan lebih baik dari fadhal dan rahmat Allah.
Kalo mereka yang tidak diberi nikmat iman saja bisa bermaksiat dengan sangat santai dan bahagia, tidak bisakah kita merasa happy dengan status ‘abid yang ada di pundak kita? Kenapa pula harus marah-marah saat memiliki nikmat terbesar di dunia ini? Dan apakah dalam tradisi kita, menunjukkan kebahagiaan atas nikmat kepada orang lain yang belum mendapatkannya adalah dengan cara membentak, mengumpat, dan melecehkan orang itu? Wallahu a’lam.
Tabik,
Ibnu Masud